Bagian-1

110 17 8
                                    

"Ciiiii, siram-siramnya udah! Overdosis air itu pohon duriannya!” seru pria yang tengah menata makanan di meja, lantas melanjutkan dengan gumaman, “Lagipula ngapain nyiram pohon durian dah. Dasar bocah aci!”

Bocah aci. Sebutan dari sang ayah untuk putranya yang baru memasuki usia remaja. Dia sedikit was-was, sebab tahu tantangan memiliki anak laki-laki. Dulu, Jeevan memanggilnya dengan sebutan bocil, tapi Caiden atau Cai tidak menyukainya. Jeevan tidak kapok memanggil dengan sebutan-sebutan aneh, tapi saat melihat aci, dia pikir itu mirip dengan putra tunggalnya.

“Kemarin kan kita tinggal seminggu, Paje. Kasian, nanti merasa dikhianati.”

Celetukan itu terdengar saat bocah yang dimaksud memasuki area dapur. Paje atau Papa Jeevan. Tidak ada yang bisa memahami dua orang aneh ini. Cai menyengir saat ketukan dari spatula mengenai keningnya, mengusap perlahan.

“Sejak kapan kamu paham bahasa tanaman?”

“Sejak aku tumbuh bersama pohon durian.”

“Aneh kamu!”

“Lebih aneh Paje, melakukan kekerasan terhadap anak di bawah umur itu harus dilaporkan. Paje nggak tau kan dampak dari spatula itu bisa aja bikin otak aku geser?”

“Udah geser dari lama,” gumam Jeevan, tapi tidak memudarkan senyumannya.

Jika saja dia amnesia, mungkin dia akan memberi pukulan lebih keras. Cai ini aneh, dia menganggap setiap hal yang ada di bumi ini memiliki nyawa dan perasaan. Bahkan Cai pernah menangisi pohon beringin di sekolahnya karena ditebang, itu terjadi tiga tahun lalu.

“Kamu itu bulan depan sudah tujuh belas tahun, pemikirannya diubah lah.”

“Ada yang salah dari pemikiranku, Paje? Paje sendiri yang bilang semua hal yang ada di bumi itu tanggung jawab manusia. Kalau sebagai manusia tidak bisa menjaganya dengan baik, berarti kita sudah merusak bumi.”

Jeevan tertawa kecil, menepuk pipi bulat Cai sebelum meminta putranya duduk. Mereka duduk berhadapan, lurus. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Cai untuk berhadapan dengan lawan bicaranya, dia selalu menolak jika harus duduk di samping dan tidak akan berbicara.

“Bagus, tapi gini Ci, menjaganya bukan berarti mengajaknya berbicara. Menjaganya bukan berarti memperlakukan mereka serupa manusia. Semua itu ada porsinya masing-masing. Ada tanaman yang harus disiram setiap hari, ada juga yang dibiarkan. Hayoo, berapa pohon yang kamu tangisi setahun ini?”

Cai terlihat berpikir, tatapannya mengarah ke langit-langit, “Lampunya perlu dibersihin deh, Paje.”

“Hadeh, mulai, dasar Boci. Kamu itu kalau diajak ngobrol ya fokus sama obrolannya, Ciii. Jangan ke yang lain.”

Cai merengut, “Jangan marah-marah. Aku bulan depan sudah legal, aku mau jadi anak nakal.”

“HEH MULUTNYA!”

Detik itu pula dua manusia berbeda usia berlarian, saling kejar memutari rumah. Rumah mereka hanya memiliki satu lantai, tapi luas. Desainnya mengikuti desain lama, tapi memiliki kebun yang luas dan diisi oleh berbagai jenis tanaman. Selain dihuni oleh mereka, rumah itu juga dihuni oleh seekor kucing liar dengan sebutan kucing oren. Dulunya ada dua, tapi yang satu mati di kolam ikan koi belakang rumah.

“PAJEEEE, AMPUN! BERCANDA! BENERAAAN!”

“JADI BERCANDA APA BENERAN!”

“BENERAN BERCANDA!”

“YANG BENER, BOCIIIII!”

Beruntung, jarak antar rumah di kawasan itu cukup jauh. Tidak banyak juga. Paling dekat hanya depan rumah mereka, tepat berseberangan. Jarang dihuni, sebab rumornya itu rumah peninggalan seorang dukun anak. Beralih kembali ke mereka, setelah nyaris setengah jam berlari-lari, mereka memutuskan berbaring berdampingan di depan televisi.

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang