Bagian 7

50 11 0
                                    

+6281345266798

masih bersma Jeevan?

gak malu ngikutin trs?

jgn trlalu deket, papamu jg butuh waktu sendiri.

Kening Cai berkerut, lantas tertawa kecil membuat Jeevan yang tengah menyetir menoleh heran.

“Kamu punya gebetan, kah?”

Cai menoleh cepat, memasukkan ponsel ke dalam saku, “enggak. Asal nuduh aja.”

“Ya kenapa senyum-senyum lihat hape?”

Mulut Cai jelas ingin mengutarakan protes, tapi dia memutuskan untuk menghela napas panjang, “kalau aku lihat kompilasi kucing lucu, apakah kucing itu pacarku?”

“Ya enggak.”

“Ya udah.”

Kali ini, Jeevan yang dibuat keheranan. Dia merasa, cara bicara Cai semakin menyamainya. Dia melihat Cai sekilas, membuang napas kasar. Tidak. Cai bukan sedang mengikutinya, jelas saja mereka memiliki arah panah yang sama.

“Paje.”

“Apa?”

“Kemarin pas jadi MC, ada tamu yang ngajak ngobrol bentar. Dia—“

“Beliau. Kalau sama orang yang sekiranya dihormati, jangan pakai ‘dia’. Kurang pantes,” koreksi Jeevan setelah merasa telinganya begitu geli mendengar hal yang tidak sesuai dengan kebiasaannya.

“Iyaa, maksudnya beliau nanya-nanya sama muji keterampilan public speaking aku.”

Entah kenapa, Cai merasa perlu untuk menceritakannya. Semalaman, dia merasa cukup memikirkan sosok tersebut. Cai merasa pernah melihatnya, tapi tidak tahu pasti.

“Siapa? Masa MC tapi nggak tahu tamu undangan sendiri.”

“Ya sebanyak itu tamu undangannya, gimana aku ngapalinnya. Aku nggak terlalu merhatiin soalnya kemarin acaranya udah ngaret banget.”

“Tertarik mungkin sama kamu.”

“MAKSUD PAJE?”

Jeevan tersentak saat tiba-tiba suara Cai meninggi, “kenapa teriak-teriak? Kalau sampai bikin papa nggak fokus nyetir, gimana?”

“Ya lagian kalimat Paje ambigu.”

“Ambigu gi—“ Jeevan tampak memikirkan ulang kalimatnya, matanya lantas membulat, “KAMU AJA YANG MIKIR ANEH-ANEH!”

Wajah dan telinga Jeevan tampak memerah, benar-benar terlihat frustasi. Di sampingnya, Cai merapatkan tubuh ke pintu mobil. Jarang sekali Jeevan berbicara nada tinggi, tapi lelaki itu seperti sudah tidak habis pikir.

“Maksud papa itu ... mungkin beliau mau bawa kamu jadi MC ke acaranya atau nawarin project atau kerjaan? Bisa aja kan? Positif thinking dong, negatif mulu otaknya.”

Dengan satu tangan yang menyetir, tangan lainnya Jeevan gunakan untuk meraup wajah Cai yang langsung ditepis pelan. Sepertinya, dia harus memantau kembali pergaulan serta ponsel Cai.

“Tapi aku nggak tahu kenapa kepikiran terus,” gumam Cai yang masih bisa didengar samar.

“Ngomong apa kamu, Ci?”

“Emang kegiatan membaca itu dimulai jam berapa, Paje?”

Dibandingkan harus mengulang kalimatnya, Cai memilih mengalihkan perhatian. Lagipula, dia merasa sudah sangat jauh dan tidak tahu arah.

“Sejam lagi kayaknya.”

“Ke taman kota kenapa lewat sini?”

“Muter, Ci. Kan lagi pengalihan jalur.”

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang