Bagian 9

41 10 0
                                    

Setelah menemui guru, Cai memandang lembar kertas sepanjang perjalanan menuju kelas. Dia bahkan hampir menabrak beberapa murid lain karena terlalu fokus dengan pikirannya sendiri. Helaan napas kasar terdengar, pandangannya teralih pada lapangan basket. Beberapa saat terdiam, Cai memilih mendekat dan memperhatikan anggota club basket yang tengah berlatih.

“Ngapain kamu di sini? Lima menit lagi bel masuk, loh.”

Cukup lama dia terdiam sampai tidak menyadari salah satu guru yang dia kenal telah berdiri di sampingnya. Guru muda dambaan para siswa. Begitulah Cai menyimpulkan kala melihat senyum guru tersebut mengembang sempurna. Menebarkan kehangatan juga ketenangan. Bahkan Cai dibuat terpaku sejenak.

“Caiden? Halo!”

“Siang, Bu Hera.”

Guru tersebut tertawa, menyadari kecanggungan Cai. Dalam benaknya, Cai terbilang biasa-biasa saja. Maksudnya, Cai bukan anak yang pintar, bukan pula anak yang nakal. Tidak ada catatan kenakalan Cai selama nyaris tiga tahun pendidikan. Mungkin, Cai tidak akan terkenal di kalangan guru jika bukan karena keahliannya dalam berbicara dan berdebat.

“Bawa acara bulan depan ya?” tanyanya melirik lembaran di tangan Cai.

“Iya, Bu.”

“Bukannya kemarin yang terakhir? Angkatan kalian sudah nggak boleh terlibat acara apapun, kan?”

“Saya mikirnya juga gitu, Bu,” lirih Cai menghela napas panjang.

“Kenapa? Kamu merasa terbebani?”

“Enggak, Bu. Saya cuman merasa bosen aja jadi pembawa acara.”

Tidak ada yang lucu setelah ungkapan keberanian yang Cai kumpulkan, tapi Bu Hera tertawa lebar. Beberapa pasang mata bahkan melirik mereka, penasaran. Sebab jarang sekali interaksi guru dan murid akan sesantai tersebut, terlebih jika bukan pengurus organisasi sekolah.

“Itu wajar kok, Den. Perasaan kamu itu dirasakan semua orang, terutama yang sudah menyadari keahliannya. Sama kayak mereka, yang kamu lihat sekarang.” Bu Hera menunjuk lapangan basket, “Mereka juga pasti ada fase males main basket, tertekan, bosen atau apapun. Keliatan kok.”

“Gini. Kamu masih inget hari pertama kamu masuk sekolah ini, rasanya gimana?”

“Seneng. Dulu sekolah ini jadi salah satu wishlist saya.”

“Sekarang?”

Cai tampak mengernyit, “biasa?”

“Menurutmu kenapa?”

“Karena saya sudah masuk sini, tiap hari melewati jalan yang sama, masuk gerbang yang sama, ketemu orang yang sama.”

“Itu jawabannya. Sekarang tugas kamu tinggal cari target pencapaian baru untuk kemampuan kamu itu. Misal, jadi juru bicara presiden.”

Tepat di detik itu Cai tertawa. Dia merasa seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya, “Tinggi banget, Bu. Saya mau jadi jurnalis aja atau dosen kayak Paje.”

“Orang-orang yang ada di jajaran petinggi negara, dulu seusia kamu, pasti ada yang nggak kepikiran bisa sampai ke sana. Nggak ada yang salah dalam bermimpi, Caiden. Semua mimpi itu luar biasa dan layak diperjuangkan. Orang lain nggak perlu tahu mimpi dan proses pencapaian kamu. Nggak ada yang peduli, mereka hanya penasaran. Jadi, fokus sama diri kamu sendiri. Semangat, ya? Perjalanan kamu masih panjang.”

Pembicaraan tersebut terhenti karena bel masuk, Cai sempat mengucapkan terima kasih sebelum Bu Hera meninggalkannya. Dia tatap kembali kertas yang sudah nyaris kusut di tangannya, menghela napas panjang.

***

“Kenapa tanaman harus disiram, Paje?”

“Kalau kamu yang disiram, berarti kamu belum mandi.”

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang