Bagian 4

60 14 1
                                    

“Ini kalau ketahuan Paje, bisa kena omel aku.”

“Alhamdulillah.”

Cai menoleh dengan alis menukik tajam. Apa yang disyukuri dari mendapat ultimatum Jeevan? Sedangkan lawan bicaranya, Nanda, membalas tatapan Cai dengan bingung.

“Apa?”

“Apa?”

“Ya apa?”

“Kok hamdalah?”

“Emang nggak boleh?"

“Ya enggak lah.”

“Sesaaat!” Nanda berseru di telinga Cai, memaksanya untuk mundur.

“Gini ya, Capcai. Orang hamdalah kok nggak boleh?”

“Kamu hamdalah pas aku bilang bakal kena omel Paje!”

“Dih? Orang aku hamdalah karena mie-nya habis. Yeeeee!”

Kalau ada predikat orang paling menyebalkan di hidup Cai, mungkin Nanda akan masuk nominasi. Sayangnya, hanya Nanda yang bisa dia percaya. Hanya Nanda yang Jeevan kenal sebagai temannya.

“Jujur aja. Bikin pengakuan kalau makan siang di Warmindo,” saran Nanda melihat kegelisahan di mata Cai.

“Bakal dimarahin.”

“Emang Om Jeevan bisa marah sama kamu?”

Cai menggeleng. Sekesal-kesalnya Jeevan dengannya, Jeevan tidak pernah menunjukkan kemarahan. Namun hal itulah yang membuat Cai sangat berhati-hati, takut jika tindakannya berhasil memancing amarah Jeevan.

“Jujur aja.”

“Aku bakal bilang kalau kamu yang ngajak.”

Nanda sontak melotot, “Enak aja. Bisa dilaporin ke papa aku kalau gitu. Mana aku pakai seragam gini.”

“Sekolah diliburin kok ngaku sekolah,” cibir Cai dengan tatapan menghardik.

“Biar dapat uang saku dong.”

“Kapan-kapan bakal aku laporin.”

Nanda melotot, “Kapan?”

“Ya kapan-kapan.”

Sebenarnya Cai juga tidak berani menghadap ayah Nanda yang badannya sebesar Jeevan. Cai bergidik, apakah dua laki-laki itu berteman karena berbadan serupa?

“Mau kuliah di mana?”

“Di mana-mana hatiku senang.”

Nanda mencibir, ingin sekali menarik rambut Cai yang mulai memanjang. Semua kekesalannya harus dia telan kembali karena Jeevan jelas tidak tinggal diam jika Cai terluka. Sungguh, menghadapi ayah Cai akan menjadi mimpi buruk bagi Nanda.

“Serius, Capcai.”

“Surabaya kayaknya.”

“Ngambil apa?”

“Ngambil patung buaya.”

“Anjing!” umpat Nanda cukup keras hingga membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka.

Nanda harus ingat jika dirinya memakai seragam, sedangkan di Warmindo saat ini didominasi oleh mahasiswa dari kampus seberang. Nanda mengatupkan bibirnya erat, wajahnya memerah menahan kesal. Di sampingnya, Cai jelas terkikik meski sempat kebingungan.

“Orang serius juga.”

“Orang-aring. Emang kamu mau ngambil apa?”

“Jadi tentara dong!”

“Wiih, keren.”

“Nggak sih, bohong.”

Nanda tersenyum bangga saat melihat raut kesal di wajah Cai. Remaja itu menjulurkan lidahnya, seolah puas membalas perkataan temannya itu.

“Nggak tahu dah. Bingung. Cap cip cup aja entar.”

Kali ini, Nanda tidak berbohong. Dia bingung dengan tujuannya sendiri. Di saat teman-teman mulai membicarakan langkah yang akan mereka ambil, Nanda memilih diam, mendengarkan. Dia ingin kuliah, ingin jadi polisi, ingin langsung kerja. Semuanya dia inginkan.

“Kok bisa bingung?”

“Ya bisa lah. Beda sama kamu yang dari awal diarahin.”

Dari awal diarahin. Cai menyadarinya, tapi Jeevan tidak menuntut apa-apa. Meski sudah membicarakannya, Cai masih penasaran dengan keinginan ayahnya. Dia berhutang hidup dengan Jeevan. Maka seluruh hidupnya akan dia habiskan untuk Jeevan.

“Eh, Cai. Om Jeevan posting calon mama tiri lo nih!”

Cai melotot, mengambil alih ponsel Nanda. Benar. Meski baru beberapa kali melihat wajah kekasih ayahnya, Cai mengenalnya. Jeevan bukan orang yang akan memposting seluruh kegiatan di instagram. Hampir seluruh postingan instagram Jeevan itu mengenai Cai. Untuk pertama kalinya, Jeevan memposting orang lain, dan itu kekasihnya sendiri.

Tanpa sadar, Cai mencebik. Meletakkan ponsel Nanda dengan keras ke meja membuat pemiliknya melotot.

“Cemburu ya?”

***

Pemberitahuan daya melemah telah muncul, Cai enggan mematikan ponsel. Remaja itu masih memandang akun instagram Jeevan dengan perasaan kacau. Cemburu? Benarkah? Bolehkah? Dia pikir, dia tidak masalah dengan hubungan Jeevan dan kekasihnya, tapi melihat Jeevan memposting kekasihnya setelah bertahun-tahun akun tersebut hanya berisi fotonya. Jeevan banyak mengunggah pertumbuhan Cai dan segala capaiannya selama ini.

Cai yang baru memasuki gerbang memilih membelokkan langkah. Percuma saja jika dia memasuki rumah tanpa ada siapapun di dalam sana. Cai berjongkok di depan tanaman anggrek yang bernaung pada pohon kelapa mati. Cai tidak mengerti dengan alasan Jeevan mempertahankan pohon tersebut, meskipun Cai setuju jika bunga Anggrek Ekor Tupai tampak indah saat berbunga.

“Pai, banyak yang bilang kalau manusia itu gampang  berubah, tapi Paje pengecualian, kan?”

“Banyak yang bilang, jangan terlalu percaya sama janji orang lain, tapi Paje pengecualian, kan? Boleh kan aku naruh kepercayaan ke Paje? Aku cuman punya Paje, Pai. Aku nggak bisa percaya sama siapapun kecuali Paje.”

Cai menyentuh bunga Anggrek Ekor Tupai itu dengan pelan, memperlakukannya seolah perasaannya sendiri. Takut kembali jatuh, takut berguguran, takut tidak bersinar indah lagi. Pandangannya beralih pada langit yang mulai menggelap, dia lirik pergelangan tangannya.

“Jam lima, Paje belum pulang.”

“Apa aku kunci aja ya gerbangnya biar Paje kapok?” ucap Cai setelah menghela napas panjang, bibirnya sedikit maju karena terlampau kesal.

Cai melangkah dengan pasti memasuki rumah, mengambil kertas dan menulis sesuatu untuk dipasang di depan pintu. Malas mencari isolasi atau semacamnya, Cai memilih mengambil nasi sebagai pelekat. Jeevan pasti akan mengomel, tapi laki-laki itu tidak mungkin memarahinya.

‘KEMERBABU BAWA PISANG
PULANGNYA KECANTOL KUNTI
UNTUK PAJE YANG LUPA PULANG
SILAHKAN TERUS BERMAIN HATI’

Setelahnya, Cai memilih untuk tidur. Ada banyak hal yang akan dia rencanakan malam ini, termasuk diam-diam bermain game.

Jeevan merenggangkan otot setelah keluar dari mobil. Dia merasa jantungnya masih berdebar kencang, hatinya berbunga-bunga, sampai tanpa sadar telinganya memerah. Dia mengingat dengan jelas bagaimana sebagian harinya dihabiskan bersama sang kekasih.

I will marry you soon, babe.”

Jeevan bersenandung. Tangannya yang semula akan membuka pintu pun terhenti, tawanya meledak begitu saja. Jeevan mengambil bolpoin dari saku kemeja, membenarkan tulisan tersebut. Mencoret ‘KEMERBABU’ menjadi ‘KE MERBABU’.

“Boci ... boci.”

Hanya beberapa saat untuk Jeevan tertawa, lantas dia teringat percakapannya dengan kekasih saat bersama. Jeevan menghela napas panjang secara berulang, seolah baru saja ditimpa masalah besar.

Everything will be fine.”

.
.
.
TBC

01-05-2024
Ruang Sembunyi 💚

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang