Bagian 6

45 9 0
                                    

Cai tidak tahu alasan akhir-akhir ini perasaannya begitu buruk. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Padahal jika dipikirkan lagi, dia tidak memiliki masalah berarti dengan orang lain. Ketakutannya seakan tidak mendasar.
Remaja itu melirik jam di pergelangan tangan. Waktu sudah berlalu lima belas menit dari yang ditentukan, tapi acara belum juga mulai. Sudah banyak tisu dia habiskan untuk menyeka keringat. Acara pertukaran, lebih tepatnya penyambutan pelajar dari negeri tirai bambu berjumlah 12 anak menariknya menjadi pembawa acara.

“Masih belum sampai, Pak?”

“Belum. Tunggu sebentar lagi, ya.”

Cai melirik ke kursi tamu. Para tamu undangan termasuk objek utama kali ini sudah hadir. Cai tahu, mereka tidak memiliki kebiasaan mengulur waktu. Raut kesal jelas terlihat meski Cai tidak memahami bahasa yang mereka gunakan. Cai tersenyum saat tidak sengaja beradu pandang dengan salah satu di antara mereka.

“Apa nggak kita buka dulu aja, Pak?”

“Tamu kali ini cukup penting, Cai.”

Panitia lain di belakang panggung memberinya kode. Cai tersenyum seraya mengangguk, “Maaf, Pak. Kita sudah dapet teguran. Saya naik duluan.”

Cai jelas mendengar protes dari pembinanya tersebut. Namun, dia juga harus mengutamakan kenyamanan semua orang. Dia juga tidak ingin membuat kesan negatif untuk siswa-siswa pertukaran pelajar tersebut.

Tidak ada kegugupan. Saat berdiri di hadapan semua orang. Cai justru merasa semakin percaya diri. Dia semakin merasa bisa mengatasi dan menarik perhatian semua orang. Dikarenakan tamu tidak keseluruhan dari negara yang sama, Cai memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tidak ada yang berani meragukan kemampuan publik speakingnya. Hal tersebut cukup membanggakan.

Setelah acara sambutan selesai, dilanjut dengan penampilan-penampilan, Cai mengambil duduk di kursi sebelah kursi tamu. Dia melirik seseorang yang tengah pembinanya ajak berbincang. Sepertinya, orang itu juga yang membuat semua orang menunggu. Sepenting apakah dirinya?

Cai memutuskan pandangan saat orang yang dia maksud mendekat, duduk tepat di sampingnya. Perhatian cai dia alihkan pada ponsel, men-scroll sosial media yang ternyata tidak sanggup membuatnya tertarik.

“Kamu keren sekali. Sudah berapa lama belajar berbicara di depan banyak orang seperti ini?”

“Iya, saya berbicara denganmu, Caiden.”

Sepertinya orang itu mengetahui Cai yang bersikap kebingungan. Lebih tepatnya, berpura-pura kebingungan. Entahlah, dia hanya tidak ingin terlalu lama berbincang dengan orang baru.

“Sudah dari lama, Pak.”

“Bahasa Inggris kamu juga fluent. Pasti orang tua kamu ya yang ngajarin?”

Cai tersenyum, “Kebetulan papa saya dosen di sastra Indonesia. Beliau sering mengajar mahasiswa dari luar, jadi mewajibkan saya untuk belajar bahasa internasional juga.”

“Wah, papa kamu pasti orang hebat.”

“Tentu saja. Papa saya dasarnya di lunguistik, jarang orang yang mau mendalami linguistik. Beliau juga ngajar di cabangnya, morfologi, sintaksis, banyak. Saya kadang heran, padahal saya pikir bahasa itu nggak susah, ternyata ngelihat gimana proses papa penelitian selama ini, bahasa cukup menjadi masalah.”

Gotcha! Cukup mudah untuk memancing seorang Caiden. Dia akan dengan senang hati membangga-banggakan Jeevan. Padahal pernyataan dari orang tersebut bisa dibalas dengan general, tapi Caiden justru menjelaskan semuanya.

“Kamu terlihat sayang sama papa kamu.”

“Banget. Saya akan melakukan apapun untuk beliau.”

“Kalau misal, papa kamu minta kamu pergi?”

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang