Bagian 8

50 13 0
                                    

Cai menatap antusias sajian makanan di meja makanan. Binar matanya tidak dapat berbohong bahwa dia senang bisa turut berkumpul bersama keluarga temannya, Nanda. Siang tadi, sepulang sekolah, Nanda memaksanya untuk ikut pulang. Katanya, merayakan ulang tahun ibunda. Cai yang semula ogah-ogahan pun harus menerima tawaran tersebut sebab rupanya ibunda Nanda telah menjemput.

“Udah aku bilang, nggak akan nyesel di sini,” bisik Nanda tersenyum penuh kemenangan.

Sebenarnya bukan tanpa alasan dirinya mengajak Cai makan malam sekaligus agenda menginap. Semalam, Jeevan sempat memberinya pesan melalui ayahnya. Jeevan ada keperluan mendesak di Malang dan tidak memungkinkan Cai untuk ditinggal sendirian. Hal tersebut tentunya membuat Nanda sedikit berpikir.

“Capcai.”

“Manggil yang bener.”

“Ya udah bener, kok.”

Ke dua alis Cai tampak mengkerut. Amarahnya tertahan sebab Ibunda Nanda sudah duduk tepat di hadapannya. Ada banyak kekaguman yang dia simpan di kepala untuk wanita cantik itu. Lantas lirikannya tertuju pada Nanda.

“Bunda kalau dilihat-lihat ternyata nurun banyak ya ke Nanda. Mirip banget.”

Sela tertawa lebar. Sahabat putranya itu benar-benar menggemaskan. Dia mengangguk setuju, melirik putranya yang tampak tidak peduli.

“Nanda kalau di sekolah gimana? Nakal nggak?”

“Bunda mau aku kasih tahu rahasia nggak?”

Detik itu pula Nanda menoleh dengan mata melotot. Dia tidak tahu apa yang akan Cai katakan, tapi dia yakin, tingkah jahil Cai tengah kumat kali ini. Detik itu pula dia menyenggol kaki Nanda, memintanya untuk tidak berbuat macam-macam lewat tatapan mata.

“Rahasia apa? Kakaaak, temennya jangan dipelototin gitu. Serem.”

“Nggak ada serem-seremnya dia mah, Bun.”

Tangan Cai bergerak meraup wajah Nanda sembari tertawa. Dia mengedipkan sebelah mata lantas kembali memandang Sela.

“Takut deh aku, Bun. Kapan-kapan aja aku kasih tahu.”

Sela tertawa, bahkan wajahnya sedikit memerah, “Ya sudah, makan dulu. Mungkin sebentar lagi ayah Den pulang.”

“Sumpah! Nggak usah ngomong macem-macem!” sentak Nanda saat Sela meninggalkan meja makan.

“Panik amat, emang tahu aku bakal ngomong apa?”

“Bodo, cok.”

“Heh lambemu! BUNDAAAA!”

Cai tertawa puas saat Nanda dibawa bundanya untuk disidang karena berbicara kasar. Dia memilih menyusul Denis yang tengah duduk santai di ruang santai. Mengingat Denis merupakan salah satu teman Jeevan, ada banyak hal menarik yang ingin Cai tanyakan.

“Ayah.”

“Sini, Cai. Duduk. Sebenarnya kalian itu manggilnya papa atau ayah sih?”
Denis tampak protes. Tidak hanya Nanda, kini Cai turut plin plan saat memanggilnya. Sebenarnya tidak ada masalah, tapi sikap aneh ke duanya benar-benar membuatnya heran.

“Nggak tahu, ngikut Nanda.”

“Papa kamu dulu itu nggak suka anak kecil.”

“Paje nggak suka anak kecil? Kok mau ngerawat aku?”

Denis tertawa. Mengingat apa yang terjadi di masa kecil Cai membuatnya turut merasa bersalah. Namun, Jeevan mengambil keputusan besar sekaligus keputusan bijak. Dirinya yang masih terlalu muda, bahkan masih duduk di bangku kuliah saat itu membuka hatinya begitu lebar.

“Ya karena sayang sama kamu. Memangnya apa lagi?”

“Aku nggak pernah ngeraguin itu,” gumam Cai menghela napas panjang, “aku nggak masalah kalau nanti Paje nikah, Yah. Tapi boleh nggak kalau aku berperan juga nyari pasangan yang baik buat Paje? Aku beneran mau yang terbaik.”

“Jadi maksud kamu, yang sekarang papa kamu pacari itu bukan yang terbaik?”

Cai langsung terlihat salah tingkah. Dia tidak bisa mengelak saat Denis menepuk pundaknya berulang kali.

“Kamu itu kurang komunikasi aja sama Jeevan. Dia pasti pertimbangin kamu juga, kok. Jadi kalau ngerasa nggak cocok sama pasangannya, coba kamu omongin lagi. Yang penting satu, kalau kamu nggak punya alasan kuat, jangan paksa papa kamu.”

Hening beberapa saat, kemudian Denis berbicara lagi, “Maaf ya, ayah nggak bisa ikut campur urusan kalian. Tapi kamu harus tahu, Jeevan memiliki banyak pertimbangan dan pasti salah satunya untuk kamu.”

***

“Mama?”

“Sayang, sini, Nak. Tolong Mama.”
“Mama?”

Anak kecil itu seperti tengah terperangkap. Dia tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya padahal tengah berdiri di ambang pintu. Arah pandangnya tertuju pada wanita yang bersimbah darah. Sorot mata itu menyiratkan kesakitan, meminta pertolongan.

“Mama?”

“Maa ...”

Tangis anak kecil itu semakin kencang, tapi dia tidak dapat melakukan apapun. Semua perasaan bercampur menjadi satu. Marah, sedih, dan banyak jenis perasaan yang tidak bisa dia kenali. Segalanya bercampur menikam dadanya begitu kuat.

“Pemirsa, belum diketahui motif pelaku membunuh istrinya sendiri. Tapi diduga—“

“Jasad wanita ditemukan di dalam kamarnya.”

Dia berteriak saat tiba-tiba terdengar suara jurnalis dari berbagai media seolah bercampur dalam kepalanya. Dia tidak tahu mengapa tiba-tiba berada di ruangan serba putih. Ah, ini ruangan psikiater yang justru selalu menyudutkannya.

“Kamu itu masih anak-anak.”

“Anak kecil seusia kamu belum bisa dipercaya.”

“Di mana kamu saat kejadian berlangsung?”

Ruangan tersebut berubah menjadi lapangan hijau yang sangat luas. Sangat indah. Sampai-sampai dia melupakan semua yang terjadi sebelumnya. Dia berlarian, mengejar serangga yang beterbangan.

“Om Jeevan? Ayo main!”

Bukannya menemui Jeevan, dia justru menemui seorang wanita yang wajahnya masih tampak tidak jelas. Namun, dia dapat melihat sorot meremehkan itu.

“Jangan terlalu deket sama Jeevan, dia juga butuh waktu sendiri.”

“Hidup Jeevan nggak cuman buat anak kayak kamu.”

Dia mengenal suara baru itu. Suara pamannya yang lain. Dia menggeleng, menutup ke dua telinganya kuat tapi suara itu seakan menggema.

“Dieeeeeemmm! Tolong diemmm!”

Detik itu pula, dia seolah ditarik dalam kegelapan panjang. Matanya yang basah mengerjap pelan, diliriknya kiri kanan.

“Mimpi?”

Cai mengusap ke dua pipinya yang basah air mata. Namun, sialnya air mata itu tidak bisa berhenti mengalir. Tidak ingin mengganggu tidur Nanda yang berada di sampingnya, Cai merapatkan diri pada dinding. Dia duduk dengan posisi menekuk kakinya, menenggelamkan kepalanya di sana. Dia biarkan kegelapan membawanya pada kesakitan lama.

Cai tidak tahu kalau Nanda tidak tertidur sepenuhnya. Sejak tadi, Nanda diam mendengarkan suara tangis yang mungkin berusaha Cai tahan. Dia tidak tahu mimpi apa yang menghantui Cai sampai-sampai membuatnya gelisah dan ketakutan sepanjang malam. Dia juga tidak tahu akankah Cai mengalaminya setiap tertidur.

.
.
.
TBC

Maaf kalau kemarin lupaaaaa

01-07-2024
Ruang Sembunyi 💚

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang