Bagi Jeevan, kebahagiaan dan ketenangan Cai merupakan yang terpenting. Tidak peduli dengan segala keinginan dalam pikirannya, dia enggan menuntut Cai atas apapun. Perbincangan malam ini dengan rekan-rekannya cukup mengusik pikiran. Sebelumnya, Jeevan tidak pernah merasa demikian.
“Anak saya itu dari kecil selalu saya minta untuk memperhatikan nilai akademiknya, mengikuti banyak lomba, menang atau kalah urusan belakang. Saya bangga,” ujar Profesor Anan dengan senyuman angkuh lantas tertawa kecil.
“Anak Prof nggak protes?”
“Pernah, tapi saya bilang itu demi kebaikannya. Terbukti sekarang, tanpa saya suruh, anak-anak saya sudah terbiasa dengan belajar dan fokus.”
“Bagus kalau gitu. Anak saya ya, Pak. Dari kecil nggak pernah nurut, ngebantah aja bisanya. Malu-maluin saya, padahal bapaknya dosen, masa anaknya aur-auran?”
Pandangan Jeevan beralih pada Pak Suryo, sosok yang di depan mahasiswanya selalu melempar kalimat positif. Jeevan sedikit terkejut, dia membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
“Memangnya bagus ya menuntut anak?”
Sontak, Prof. Anan dan Pak Suryo menatapnya lantas tertawa bersama. Jeevan merasa tidak ada yang lucu dari pertanyaan yang dia utarakan, kenapa mereka tertawa?
“Loh loh loh gimana to, itu bukan menuntut, Pak Jeev. Itu namnya mengarahkan, anak-anak era sekarang itu pergaulannya serem. Kalau nggak sedikit dikerasin, bisa keblinger mereka. Anak Pak Jeev kan laki-laki, satu-satunya pula, gapapa itu kalau dikerasin dikit. Jangan apa-apa ngikut kemauan anak bapak.”
Ungkapan Pak Suryo membuat Jeevan sontak mendelik tak suka, segera dia normalkan ekspresi sebelum ditangkap dengan maksud berbeda.
“Bukannya kebahagiaan anak itu lebih penting?”
“Pak Jeev sepertinya beneran butuh pendamping lagi, mau saya carikan?”
“Saya sudah punya, Pak.”
“Bagus itu. Kalau bapak nggak tega sama anak bapak, salah satu orang tuanya harus ada yang sedikit keras biar seimbang. Kalau dimanja terus, nanti anak bapak seenaknya.”
“Anak saya baik-baik saja kok selama ini.”
“Itu kan kalau dalam pantauan bapak, gimana kalau di laur pengawasan? Remaja sekarang itu pinter-pinter loh, mainnya serem dan terlalu jauh.”
“Sudah-sudah Pak Suryo. Sudah kejauhan,” ujar Prof. Anan menyela ujaran Pak Suryo yang sepertinya belum selesai, pandangannya beralih pada Jeevan, “Dipikirkan lagi, Pak. Pikirkan yang terbaik. Bagaimanapun juga, apapun yang terjadi dengan anak bapak atau yang dilakukannya, bapak akan menanggung akibatnya juga kan?”
Merasa semuanya terlalu berat, Jeevan pamit undur diri. Dia bahkan tidak mendengar balasan apapun dari senior-seniornya.
***
“Abis dari mana?”
“Main futsal sama temen-temen, tadi kan udah laporan sama Paje.”
Cai sebenarnya terkejut dengan Jeevan yang ada di teras. Tidak seperti biasanya.
“Aku masuk dulu ya, Pa? Gerah, mau mandi.”
Belum sempat melangkah, kalimat Jeevan membuatnya terpaksa tetap di posisi semula. Dia tidak pernah menemui ekspresi Jeevan seperti sekarang, kalaupun pernah, setidaknya suara Jeevan tidak terdengar serius dan menakutkan. Sekarang Cai seperti menghadapi orang yang selama ini dia buang jauh dari pikirannya.
“Main futsal sampai malem? Kamu nggak belajar? Udah kelas dua belas, kamu nggak nyadar juga ya sama prioritas?”
“Hah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika (Aku) Ingin Pulang
FanfictionJika aku ingin pulang Aku akan mencari tempat di mana tidak ada siapapun di sana Aku akan mencari tempat di mana tidak ada ketakutan di sana Aku akan mencari tempat di mana hanya ada ketenangan di sana