Bagian-2

74 16 0
                                    

Setelah memindahkan Cai ke kamar, Jeevan merenggangkan otot-ototnya. Dia tertawa sekilas, merasa bahwa badan Cai semakin berat. Dulu, baginya menggendong Cai merupakan perkara menyenangkan. Mengajaknya bermain pesawat kertas dan berlarian mengelilingi rumah. Tawa bahagia Cai mengajaknya bahagia pula. Namun, kini dia menyadari bahwa Cai telah tumbuh dewasa. Menyadari bahwa sudah sejauh ini dia merawat dan membesarkannya.

Jeevan melangkah ke kamarnya, mengambil satu figura foto yang terawat dengan baik. Di sana, tampak sepasang suami istri dan bayi dalam gendongan terlihat seperti keluarga bahagia. Benar-benar bahagia. Jeevan tidak pernah menyangka bahwa semua tidak seperti yang dia kira.

“Andai tragedi itu nggak terjadi, Boci pasti lebih bahagia sekarang.”

Ponsel Jeevan berdering dalam saku. Tanpa mengeceknya, Jeevan tahu siapa yang menghubungi di waktu tengah malam. Tidak mungkin mahasiswanya atau rekan kerjanya. Mereka jelas tahu waktu.

“Ada apa?”

“Pulang, bajingan!”

Jeevan mengernyit, “Aku sudah di rumah. Mau pulang ke mana?”

“Rumah lo bukan di sana. Mau sampai kapan hidup kayak gitu?”

“Rumahku di sini. Sudah malam. Lebih baik Abang tidur.”

Makian masih terdengar saat Jeevan memutus panggilan, ponselnya dalam genggaman yang menguat. Jeevan tidak tahu cara mendeskripsikan perasaannya saat ini. Panggilan-panggilan itu selalu berhasil mengusik hari-harinya.

Ditatap kembali foto dalam figura, “Jangan khawatir, aku akan tetap bersamanya.”

Berbeda dengan situasi kamar Cai saat ini. Anak itu terlihat gelisah dalam tidurnya. Bibirnya menggumam tidak jelas dengan keringat di wajah. Selimut yang ditata Jeevan sudah tidak jelas posisinya, bahkan guling yang selalu dia peluk terjatuh dari kasur. Cai mimpi buruk.

Dalam mimpinya, dia melihat darah ada di mana-mana. Dia mendengar teriakan nyaring, flash kamera, pertanyaan-pertanyaan yang tidak dia mengerti. Semuanya berputar secara cepat hingga Cai kebingungan. Anak itu bahkan menangis dalam tidurnya, mencari jalan keluar untuk terhindar dari semua kesesakan itu.

Tiba-tiba Cai membuka mata, rautnya jelas terkejut dan kelelahan. Napasnya tidak beraturan hingga Cai memutuskan untuk duduk. Ditatapnya sekitar sebelum mengambil guling yang dia raba-raba tidak ada. Pandangan anak itu kosong, tapi air mata jelas masing mengalir.

Dipeluk erat guling dengan isakan mulai terdengar. Semakin kuat pelukan, semakin erat pula ketakutan bersamanya. Cai membenci situasi seperti sekarang, dia tidak tahu harus kepada siapa mengutarakan semua. Tidak mungkin pada Jeevan, laki-laki itu sudah menanggung banyak beban.

Cai mematikan lampu di nakas, semakin tenggelam wajahnya dalam guling di pelukan. Anak itu berusaha membungkam mulutnya sendiri agar isakan yang sudah berubah menjadi tangisan kecil itu tidak terdengar. Posisi kamar Jeevan berada tepat di sebelahnya, maka dengan mudah mereka mendengar suara dari kamar masing-masing.

“Maaf ...”

“Maaf ...”

“Maaf ... I hate you, Dad.”

***

“Kenapa kamu pakai kacamata hitam?”

“Biar keren lah, Paje. Memangnya Paje saja yang bisa keren?”

Jeevan mengernyit, memandang penampilan Cai yang terlihat lebih rapi. Sebenarnya hari ini tidak bisa dikatakan libur, sebab Jeevan tahu Cai akan membawa acara nanti malam di sekolahnya. Melihat Cai yang bahkan sudah wangi di jam pagi seperti sekarang jelas membuatnya heran.

Jika (Aku) Ingin PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang