Part 8 ☔

2.7K 172 4
                                    

"Gue rasa dia emang sengaja ngehindar dan lagi nyembunyiin sesuatu dari lo. Tapi, lo ga papa, kan? Lo baik-baik aja, kan?" tanya Feby dari sambungan telpon.

"Ga, Feb. Gue lagi ga baik-baik aja," sahut Zoya menghela nafas berat.

"Udah gue duga. Lebih baik lo lupain perasaan lo ke dia mulai sekarang. Masih banyak cowok baik di luar sana yang mau sama lo. Dan juga, ga usah ngarep apa-apa lagi. Dia sengaja kabur dari masalah karena emang ga sanggup bantuin lo."

"Tapi Feb, gue ga bisa lupain janji dia." Zoya menghentakkan kakinya kesal.

"Ya! Jujur gue capek sama sifat lo ini. Lebih baik lo nyerah aja. Udah bertahun-tahun lo berjuang nyari pelaku pembunuhan mama lo tapi hasilnya ada ga? Semua usaha lo sia-sia. Lo boleh punya tekad, tapi liat juga realitanya gimana. Kondisinya seperti apa, memungkinkan atau engga. Gue bilang gini cuma ga mau lo depresi lagi, Ya. Lo sudah terlalu banyak memukul beban sendirian," sanggah Feby tiba-tiba memarahinya.

Zoya terdiam sejenak. Sia-sia? Yang dikatakan Feby menang benar. Tapi entah mengapa Zoya sangat marah saat Feby menyuruhnya berhenti. Seakan-akan mematahkan semangat yang mati-matian ia bangun sendiri selama ini. "Terserah lo mau ngomong apa. Gue ga bakal pernah berhenti. Gue pastikan orang yang udah merenggut semua kebahagiaan gue mendapatkan balasan berkali-kali lipat atas perbuatannya. Jangan pernah remehin gue, Feb. Lo ga tau seberapa besar usaha gue selama ini."

Mendengar nada dingin dari gadis itu seketika membuat Feby merasa bersalah. Baru saja ingin membalas perkataannya, telpon sudah dimatikan oleh Zoya.

Tangannya mengepal, membiarkan kuku-kuku palsu itu menancap di kulitnya. Rasa sakit ini tidak sebanding dengan sakit di hatinya. "Mungkin karena ini gue selalu ngerasa sendiri. Ga ada satupun dari mereka yang mau bantuin gue. Cuma gue dan Bang Galen yang peduli sama kematian mama, tapi sekarang... gue harus berusaha sendiri karena dia udah pergi duluan, nyusul mama." Suara Zoya semakin lemah. Ia mengusap air mata yang hampir keluar, menatap langit sore yang sudah mulai berubah warna.

Zoya berdiri di depan gerbang sejak 10 menit yang lalu menunggu jemputan namun tak kunjung datang. Ia melihat anak-anak yang lain sudah pulang dan tersisa dirinya sendirian di luar bersama satpam yang menjaga gerbang.

"Duh, ini supir yang nganter gue tadi kemana sih!" keluhnya.

Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam yang terlihat mewah berhenti tepat di depannya. Zoya sontak menoleh, saat melihat siapa orang yang membuka kaca mobil tersebut, gadis itu seketika cukup terkejut "Kakek!"

Sang kakek yang sedang duduk mengendarai mobil itu tersenyum hingga matanya ikut menyipit dan memperlihatkan gigi putihnya. Ia mengisyaratkan dengan lirikan mata, menyuruh cucunya untuk segera masuk.

Zoya mengangguk senang lalu masuk ke dalam mobil. "Kakek nyempetin waktu buat jemput Yaya?" ucapnya girang.

"Wah, iya, dong. Kemarin kan Kakek udah ninggalin Yaya, sekarang Kakek kangen dan pengen ngajak Yaya pulang bareng. Kebetulan baru pulang kerja, jadi sekalian," jelasnya.

"Kakek nyetir sendirian?"

"Iya, Kakek mau pake mobil sendiri hari ini."

Jelas pria tua itu berbohong. Tadinya ia memang bersama asisten pribadi, tapi dengan tega menyuruhnya turun di tengah jalan hanya agar bisa berduaan dengan cucunya.

"Oh, gimana kalau Yaya pulang ke rumah hari ini?" tanya Gerald.

Zoya seketika bimbang, namun Kakeknya nampak sangat ingin segera membawa Zoya ke kediaman keluarga Dhartama.

"Kakek ingin memperkenalkan kamu, dan tinggal bersama kamu. Yaya pasti juga kesepian kalau tinggal sendirian di apartemen itu."

"Hm, oke kalau gitu. Yaya juga ga sabar ketemu keluarga yang lain," ujarnya tersenyum palsu. Jika bukan karena Kakeknya, mana mau Zoya menginjakkan kaki di rumah itu.

Meet DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang