04. Dengan Caraku

75 22 0
                                    

Kantor Viviz Advertising siang itu masih dipenuhi hiruk-pikuk pekerjaan. Suara ketikan keyboard dan nada dering telepon bersahutan, menambah kesibukan di udara. Di tengah kesibukan itu, Arsy melangkah cepat menuju toilet. Ia baru saja selesai memeriksa laporan di mejanya dan merasa perlu sejenak menjernihkan pikiran.

Ketika berbelok ke salah satu lorong kantor yang sempit, langkahnya mendadak terhenti. Di ujung lorong yang sama, Kevin berjalan ke arahnya, terlihat terburu-buru hendak menuju ruang admin.

Mereka berdua bertatapan—dan selama satu detik yang terasa seperti selamanya, dunia seakan berhenti berputar.

Kevin, yang awalnya terlihat tergesa-gesa, mendadak memperlambat langkah. Begitu pula Arsy. Mereka sama-sama terpaku, terkejut, dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kepanikan refleks, mereka melangkah ke arah yang sama, dan... nyaris bertabrakan.

“Astaga, maaf!” seru Arsy cepat, sambil mundur satu langkah.

“Oh, maaf juga!” balas Kevin sambil tersenyum kaku. “Eh… aku duluan?”

Mereka berdua mencoba bergerak lagi. Arsy melangkah ke kanan, dan tanpa sengaja Kevin juga bergerak ke kanan pada saat yang sama. Mereka berhenti, bingung, dan kali ini Kevin menahan tawa kecil.

“Sepertinya kita terjebak,” kata Kevin, sedikit bercanda. “Kamu ke kiri? Atau aku yang ke kiri?”

Arsy tertawa kecil, meski rasa gugup masih menghantuinya. Tangannya bermain-main dengan ujung lengan blazer yang ia pakai, tanda ia sedang tak tahu harus berbuat apa. “Ehm, mungkin... aku aja yang minggir dulu?”

Mereka mencoba lagi, tapi entah kenapa justru kembali mengulang gerakan yang sama. Kini keduanya tertawa pelan, canggung tapi tak bisa menahan geli melihat kekonyolan yang baru saja terjadi.

“Sepertinya kita sinkron,” ujar Kevin sambil menatap Arsy dengan senyuman hangat. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Arsy sulit bernapas dengan normal. Tatapan itu lembut, seolah-olah Kevin benar-benar memperhatikannya, bukan hanya sekilas.

Arsy merasa pipinya mulai memanas. Ia menunduk sedikit, berharap semburat merah di wajahnya tidak terlalu terlihat jelas. “Aku… mungkin lebih baik aku aja yang belok ke sana,” katanya cepat, sambil menunjuk arah sebaliknya.

Kevin tertawa kecil, memperhatikan tingkah laku Arsy yang tampak gugup namun manis di saat bersamaan. “Oke, deal. Kamu lewat situ, aku lewat sini.” Ia menunjuk arah yang berlawanan.

Namun sebelum mereka benar-benar bergerak, Kevin tiba-tiba menambahkan, “Atau… kalau kita tabrakan lagi nanti, itu tanda alam kalau kita memang harus ketemu.”

Ucapan itu begitu ringan, seolah bercanda, tapi nadanya terdengar lembut dan penuh makna. Arsy hanya bisa memandang Kevin, lidahnya kelu. Tidak ada kata-kata yang mampu keluar dari mulutnya.

“Kevin…” Arsy mencoba bicara, tapi suaranya hampir tak terdengar.

Melihat Arsy yang kebingungan, Kevin tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. Ia mengangkat bahunya sedikit. “Bercanda, kok.” Namun, matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.

Arsy merasakan jantungnya berdetak kencang, tapi ia mencoba tetap tenang. “Ya udah… sampai nanti di pantry?” tanya Arsy sambil tersenyum tipis, mencoba mengalihkan suasana.

“Pasti,” jawab Kevin sambil melangkah mundur sedikit. “Hati-hati di jalan, Arsy.”

Ucapan sederhana itu terasa begitu manis di telinga Arsy. Ia hanya bisa mengangguk, dan saat mereka akhirnya berpisah dan melangkah ke arah masing-masing, Arsy merasakan sesuatu yang hangat mengalir di dalam dirinya—sesuatu yang baru dan membingungkan, tapi menyenangkan.

A Love That Appears Once in 1,000 Years (TayNew)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang