Entah sudah subuh yang keberapa, Dewangga sudah tidak pernah menghitungnya. Ia yang dihadapkan dengan kenyataan harus bangun lebih pagi dari orang yang hidupnya serba enak kadang dibuat berang juga. Tubuh itu duduk di atas lantai yang sudah menjadi tempat tidurnya sejak lama. Dewangga bahkan sudah lupa bagaimana rasanya tidur beralaskan kasur. Oh, buat beli kasur bujangan yang harganya melebihi penghasilannya per-hari itu saja dia masih pikir-pikir. Sekalipun pengeluarannya hanya buat sepetak rumah jelek dan kumuh ini serta perutnya, dengan penghasilan yang tidak pernah dapat diprediksi ini, Dewangga kurang bisa buat memiliki keinginan lain selain mati lebih cepat tanpa harus mencabut nyawanya sendiri. Apalah artinya hidup kalau tiap hari yang harus dihadapi sebuah kesusahan.
Kalau kata orang, hari buruk itu pasti akan hengkang. Namun, kapan pula ia akan pergi? Dewangga rasa, hal itu hanya berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Ia yang tidak pernah menjadi kesayangan Sang Pencipta tentu saja tidak akan pernah menyaksikan bagaimana kehidupan menyiksa ini lepas dari kakinya. Tujuh belas tahun hidup sengsara, ia yakin bahwa matinya pun tidak akan pernah bertemu dengan bahagia.
Lagipula, apa itu bahagia. Rasanya, Dewangga tidak bisa jabarkan kalau ada yang bertanya. Bahagia terkesan abu-abu. Seperti tidak pernah dia rasakan seumur hidupnya. Jangankan bahagia. Tenangnya pikiran pun tidak pernah dapat dirasa.
Ah, sudah lah. Sengsara biarlah sengsara, binasa ia akan binasa pada akhirnya.
Tubuh tinggi itu akhirnya melangkah keluar rumah. Dia berjalan ke arah sumur terdekat lalu mulai menimba air buat dipakai mandi sebelum bekerja. Bermenit dia habiskan buat membersihkan diri, Dewangga akhirnya keluar dengan penampilan yang masih saja sama; tidak tertarik buat menjalani hidup namun terpaksa buat melakukannya.
Setelah itu dia mulai keluar rumah. Rokok dibakar, hembus asap mengepul di atas kepala. Langkah kaki berat mulai menyusuri jalan gelap. Bau alkohol yang menyengat di beberapa sudut tempat tinggalnya tidak menghentikan langkah kakinya. Dewangga sudah menghadapi ini sejak kecil. Dia tidak punya alasan takut digebuki oleh orang-orang mabuk. Ringisannya tiba-tiba terdengar saat tidak sengaja menyenggol ujung bibir sendiri. Oh, lukanya masih di sana.
Dewangga tertawa kecil. Dia terlibat perkelahian dengan salah satu teman kuli pikul karena dituduh mengambil bagian kuli tersebut. Dewangga bekerja dua kali lebih banyak dari hari biasa karena ingin dapat uang lebih buat mengembalikan uang Elok. Entah dari mana jalan pikirnya itu berasal, Dewangga tidak menyangka bahwa dia lakukan hal bodoh itu hanya karena tidak tega dengan seonggok manusia miskin yang masih berani bermimpi. Ingin sekali dia mengutuk Nakula itu; miskin tidak perlu banyak bermimpi karena semuanya akan sia-sia. Namun, ia telan seluruh kalimat tidak baiknya karena melihat binar penuh harap di mata itu. Dewangga tidak ingat kapan ia pernah merasa sehidup Elok.
Melihat bagaimana senyum itu tertarik dengan kaki yang melompat kecil kala melihat susunan rak buku di toko ibu Emi buat Dewangga mempertanyakan sesuatu. Apakah bahagia memang sederhana yang orang-orang katakan? Lalu jika memang begitu, mengapa ia tidak pernah menemukan sedikit saja bahagia di sebuah kesederhanaan, di sebuah kemiskinan yang telah melandanya sejak kecil. Minimnya ia bertemu dengan bahagia buat Dewangga kadang tidak yakin bahwa dunia berikan satu tempat dan sempat buat ia icip sedikit saja harumnya senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanfictionDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?