Elok tidak berani pulang. Terima kasih, Tuhan, telah kirimkan hujan selebat-lebatnya petang hari yang bisa dijadikan alasan bagi Elok buat kembali lebih malam. Ia memilih buat pergi ke dermaga. Duduk termenung di atas jembatan kayu di bawah guyuran hujan. Wajahnya penuh lebam. Nyeri denyut itu cukup mengganggu namun setidaknya, air mata kelemahan berhasil ditutup-tutupi oleh rintik lebat yang basahi tubuh menyedihkan. Elok rasa, perlahan jiwanya telah mati. Memang, apa salahnya menjadi yang tidak sanggup ikuti keinginan mayoritas teman sekelas? Bukan keinginan Elok buat dilahirkan di tengah-tengah pasangan yang harus menderita dengan masalah finansial mereka.
Elok berkelahi di sekolahan. Sebagai siswa kelas akhir, sudah seharusnya ia menahan diri dan mengendalikan emosi. Seharusnya ia tidak banyak tingkah dan menyebabkannya mendapat surat cinta dari kepala sekolah buat kedua orang tuanya. Mana yang ia pukuli adalah anak polisi. Kalau sudah berbicara dengan 'power' yang orang-orang berada miliki, Elok paham bahwa sekalipun ia benar, fakta yang jelas ada dapat dibalikkan dengan mudah. Teman-teman pun tidak ada yang berpihak padanya kecuali Fajar.
Ia dikatai miskin. Elok masih terima saja. Dikatai angkuh dengan kepintarannya pun, masih Elok biarkan. Namun, kala mulut itu berucap yang tidak sesuai fakta tentang ibu, Elok dibuat naik pitam. Ibu yang bekerja sebagai buruh cuci dan penjual kue malah dikatai pecun. Berangnya Elok tidak bisa dijabarkan. Fajar tidak lagi punya tenaga buat menahan Elok yang kepalang emosi. Ia memukul Sandy sampai tidak berdaya di atas marmer kelas. Ia biarkan kejadian itu sebagai tontonan gratis murid dari seluruh penjuru sekolah. Elok benci manusia bermulut lemas, benci orang yang berbicara sembarangan. Ia tidak peduli jika dikatai. Tapi, kalau sampai singgungan menyerempet ke ibu, ayah dan hujan, ia tidak akan segan pasang badan buat melindungi.
Elok menatap surat panggilan dari kepala sekolah lantas melemparkannya ke laut. Biar Laut yang membaca betapa angkuhnya orang-orang di sekolah itu. Rasanya sangat menyedihkan. Dada Elok masih cukup sesak. Ia kesal, masih benar-benar tidak terima bahwa Sandy bisa menganggap ibunya begitu. Elok tahu siapa ibunya sebab ia adalah anak yang dilahirkan oleh beliau. Lantas, siapa juga Sandy itu? Mengapa bisa sembarangan ia berceletuk tanpa landasan fakta?
Kesalnya Elok bertambah kala teman-teman lain–kecuali fajar–malah tertawa terbahak-bahak bagaikan itu sebuah lelucon paling lucu sejagad raya. Elok benci. Ia benci teman sekelasnya. Ia benci wali kelasnya. Pun benci dengan kepala sekolahnya. Persetan dengan julukan sekolah para orang pintar padahal mereka sudah kehilangan moral sejak lama. Bobroknya sekolah kerap ditutup-tutupi dengan branding paling konyol.
Derasnya guyuran hujan tiba-tiba saja tidak terasa di tubuh yang kian mendingin. Elok merengut saat melihat air laut yang tidak lagi tenang itu masih bergoyang dengan rintik yang jatuh tertampung di atasnya. Ia lantas mendongak, tertegun sejenak kala melihat Dewangga yang tengah berdiri di belakangnya dengan satu payung kecil buat melindungi tubuh Elok dari derasnya hujan. Elok menggeleng. Tangannya terangkat buat mendorong dengkul Dewangga menjauh. Namun, cowok itu masih setia berdiri di posisinya sambil menatap lurus ke pulau kecil di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanfictionDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?