Setelah malam yang buat Dewangga menuntaskan sendiri gejolak cinta dalam dirinya, ia memutuskan untuk pergi ke ShangRi La. Bukan untuk menyelam dalam beceknya lendir di sana, ia hanya ingin bertukar cerita saja. Mbak Ratih namanya, cantik sekali dalam usia 49 tahunnya. Dengan rambut sebahu yang bergelombang, beliau sangat suka dengan dress pendek bermotif bunga. Dewangga duduk di depan kamar sewaan beliau. Duduk sambil bersandar pada pintu, biarkan mbak Ratih asik menyesap rokok kreteknya. Beliau sudah jadi pendengar yang baik buat Dewangga sejak tiga tahun lalu. Sesekali menyelam dalam lautan hasrat yang bergejolak namun lebih sering memasang telinga baik-baik buat dengarkan keluh kesah dari remaja tanpa arah. Dewangga hanya mau terbuka dengan mbak Ratih karena baginya, hanya mbak Ratih yang tidak akan menggunjing soal kehidupannya yang rancu. Dewangga tidak pernah tahu harus dengan istilah apa ia jabarkan soal kehidupannya yang sebatang kara; punya ibu tapi tidak peduli padanya.
Persoalan-persoalan rumit dalam kepala masih tak terpecahkan sejak kemarin. Bagaimana ia masih bertanya-tanya; apakah tidak apa-apa jika dua pria saling cinta? Walaupun bisalah ia mempersetankan bumi dan seisinya, cuman, Dewangga masih ditahan oleh tembok bingung.
"Menurut mbak, boleh gak, dua laki-laki saling cinta?" Dewangga membakar rokok kretek yang terselip pada bibirnya.
Mbak Ratih menerawang jauh sekali. Ini adalah lagu lama. Para pemuda kadang datang buat membuktikan bahwa rasa suka pada sesama itu hanya nafsu belaka. Yang katanya cinta itu tidak akan pernah ada karena cinta hanya datang jika bertemu dengan lawan jiwa. Aneh memang, Ratih sebagai manusia yang hidup jauh lebih lama dari Dewangga sudah sering menjadi saksi kejamnya pada manusia yang tidak adil pada yang hanya jatuh cinta. Konon katanya, cintai sesama adalah aib dunia. Omong kosong! Tidaklah seperti itu pada kenyataannya. Apa yang salah dalam mencintai. Bukankah abjad mencintai tidak pernah bisa prediksi sama sekali. Dari masa asal rasa cinta tersebut? Jika dari pandangan, maka, bukankah sudah seharusnya sah-sah saja kalau naksir yang satu kelamin dengan mereka. Kadang, manusia kebanyakan menggunjing, takut akan hal yang memang benar-benar akan terjadi sampai lupa bahwa hal tersebut tidak akan pernah bisa dipercepat maupun diperlambat. Hari akhir sudah ditentukan, semua memang akan mati pada akhirnya.
"Nggak salah." Singkat, padat, namun Dewangga masih kurang paham. Wajah itu merengut sedikit buat Ratih akhirnya terkekeh. Wanita itu menghembuskan asap rokoknya ke atas, menatap ke mana perginya kepulan itu dibawa oleh sepoi angin sore. "Kalau cinta itu gak tahu dari mana datangnya, kita gak bisa banyak-banyak menghakimi, Dewangga. Selagi masih belum berpunya, selagi masih belum ada status resmi yang mengikatnya, jatuh cinta itu akan selalu sah-sah saja. Tergantung kamu maunya bagaimana mau dikejar atau hanya dikagumi dari jarak jauh saja."
Kalimat itu tersapu terbawa angin. Dewangga hanya diam saja, ia ikut hembuskan asap rokoknya, menatap lurus ke depan pada kamar yang tertutup rapat. Setahu Dewangga, itu tempat di mana ibunya menerima pelanggan. Oh, apakah masih boleh ia anggap wanita itu sebagai ibunya padahal menjadi seorang ibu tidak pernah ada dalam keinginan dalam hidup beliau. Dewangga jadi merasa bersalah tiba-tiba. Ia lahir ke dunia tanpa menerima sedikit cinta dari ibunya padahal konon katanya, buah hati itu terlahirkan dari dua manusia yang saling cinta. Ibu dan ayah saling mencintai. Itu adalah kalimat yang pernah ayah katakan padanya sekalipun ada sebuah sanggahan besar dari ibu yang kerap menyalahkan ayah karena kondisi mereka jadi sangat buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanficDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?