TW // abusive, mentioning of death and death and death and death, keputusasaan.
Kini, Elok baru saja berlari kencang keluar dari rumahnya. Dengan teriakan Hujan dan Ibu yang menyuruhnya buat memacu kaki lebih kencang, samar-samar hatinya juga ikut memar melebihi birunya dua belah pipi dan sekujur tubuhnya. Elok rasanya mati hari ini. Ayah yang tidak pernah marah padanya sejak kecil, buat pertama kalinya malah meledak-ledak malam ini saat melihat penampilannya yang baru saja sampai ke rumah. Mungkin efek dari lelahnya seharian bekerja. Elok tidak ingin pikir yang macam-macam. Namun, bolehkan ia kecewa pada ayah karena jari-jari yang biasanya mengelus kepala dan pipi Elok serta lengan kokoh yang kerap sembunyikan seluruh rasa takut yang Elok punya selama ini menggenggam sebilah rotan erat-erat dan menghajarnya habis-habisan. Ayah memang tidak berucap namun tangan besar dan kasar itu terus menghujamnya dengan pukulan. Beliau bagaikan orang yang tengah kesetanan dan Elok menjerit-jerit kencang dibuatnya. Ibu dan Hujan berusaha menolongnya namun lirikan mata ayah sangat menakutkan. Elok saja rasanya tidak tega buat terus berlari menjauhi rumah. Ia takut sekali. Takut jika sudah sampai di rumah, kejadian-kejadian yang tidak pernah diinginkan malah terjadi di sana. Selama melangkah, Elok hanya bisa berdoa agar ayah bisa ditenangkan hatinya, ibu dan Hujan dilindungi oleh tetangga mereka.
Elok tidak paham mengapa ayah bisa semarah itu padahal biasanya ayah selalu menuntut penjelasan lebih dulu. Oh, sakitnya hati Elok malam ini. Lebih sakit dari tubuh yang remuk karena dibantai oleh tiga anak nakal di dermaga, lebih sakit dari pukulan rotan yang menyapanya. Ia menarik napas dalam-dalam kala kaki menapak di bawah lampu jalan depan gang ShangRi-La. Ia menoleh ke belakang. Menatap lampu-lampu indah yang menghiasi tempat prostitusi itu lantas meletakkan satu tangannya di tiang lampu jalanan. Ia menunduk dalam. Tidak sangka bahwa perlahan-lahan, dalam susahnya ia menarik napas, air matanya malah terjun bebas. Elok mengusap matanya dengan punggung tangan namun sialnya, air mata tidak kunjung mau berhenti. Ia kesal. Rasa yang seharusnya tidak pernah timbul dalam hatinya malah datang. Ia jadi kesal dengan ayah, ia kecewa dengan sosok super heronya itu. Yang ia sangka akan menjadi pelindungnya sampai mati malah hampir saja menjadi penyebab kematiannya.
Ayah adalah sosok yang baik, ayah tidak pernah marah-marah dan tidak pernah menuntut Elok untuk ikuti kemauan beliau. Setidaknya, itu adalah gambaran besar ayah dalam kepala Elok maupun Hujan sejak lama, sejak mereka dilahirkan ke dunia. Lantas, mengapa ayah berubah. Lantas, mengapa ayah memukulnya sekeras tadi.
Apakah selama ini Elok menyusahkan? Apakah mimpi Elok malah membuat ayah merasa terganggu? Elok tidak pernah minta banyak pun tidak pernah minta dikuliahkan sekalipun dalam hatinya kadang-kadang hendak memberontak, hendak berseteru dengan ayah bahwa sudah menjadi tugas ibu dan ayah buat menyekolahkannya tinggi-tinggi, sudah tugas ibu dan ayah buat mengantarkannya ke perguruan tinggi. Seharusnya, urusan biaya bukan menjadi tanggungan pikiran Elok.
Seharusnya,
Seharusnya,
Seharusnya.
Terlampau banyak seharusnya di kepala sampai rasa kesal itu malah semakin besar. Oh Tuhan, bolehkah Elok merasa sekesal ini pada ayah? Bolehkah ia merasa bahwa dunia ini tidak pernah adil untuknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
फैनफिक्शनDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?