Gelap gulita masuk ke dalam pandangan Elok yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Dia bangun dengan tubuh yang terasa jauh-jauh lebih lelah dari biasanya. Dia bekerja ekstra demi menutupi kebutuhan sehari-hari dan juga keperluan sekolah Hujan. Dia merenggangkan tubuhnya sejenak sebelum memutuskan untuk menghidupkan saklar lampu di samping dan beranjak pergi ke dapur buat mandi. Ibu dan Hujan sepertinya belum pulang. Tadi pagi Ibu bilang ingin membantu tetangga ujung buat persiapan pesta pernikahan anaknya dan Hujan merengek minta ikut karena dia mau main sama teman-temannya. Berhubung besok libur, jadinya Ibu memperbolehkan si bungsu buat ikut dan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. Untung saja Elok bawa kunci cadangan kalau tidak, dia mungkin harus menunggu Ibu lebih lama atau paling parah, tidur di teras sampai pagi karena biasanya, kalau ada acara, para tetangga suka menginap di rumah yang punya hajat.
Setelah mandi, Elok menatap tudung saji mereka yang tergantung di dinding. Oh, Ibu tampaknya lupa bahwa anaknya tidak cuman satu, ya. Elok terkekeh kecil. Dia meneguk segelas air putih sebelum mengecek uang di saku yang sisa lima belas ribu. Upah hariannya di pabrik kerupuk itu kadang bisa seratus ribu kalau yang punya sedang baik hati kalau tidak palingan tujuh puluh sampai tujuh puluh lima ribu perhari. Semua uang Elok serahkan pada ibu sedangkan untuk upah di pabrik kaca itu perbulan jadi biasanya kalau dapat gaji, setengah dia simpan, setengah lagi diserahkan pada ibu untuk bantu-bantu biaya makan dan digabung dengan upah di pabrik kerupuk. Menurut Elok, saat Ayahb masih hidup sih, upah kerjanya sudah cukup dan sesuai buat lulusan SMA yang tidak punya banyak kesempatan. Dia tidak begitu mahir menggunakan komputer karena keterbatasan di rumah bahkan dia jarang sekali ke warung internet kalau memang tidak diperlukan untuk mengerjakan tugas. Jadinya Elok tidak pernah begitu banyak berharap. Dia bisa saja kerja sebagai kuli ikut dengan Ayah dengan gaji seratus lima puluh ribu sampai dua ratus ribu perhari. Cuman, Ayah bilang, Elok mending cari kerja yang tidak begitu terbakar oleh cahaya matahari. Lucu sebenarnya karena dia kan tidak punya basic apa-apa selain senang bernyanyi dan membuat kerajinan rasanya tidak etis pula kalau Elok harus pilih-pilih pekerjaan. Dia seharusnya bisa kerja serabutan.
Uang lima belas ribu itu akan dia pakai buat beli nasi goreng karena perut sudah terlalu bergemuruh minta diisi. Hari ini kerjaan di pabrik kaca sangat berat karena mereka lagi-lagi mendapatkan pesanan dalam jumlah banyak buat dijadikan souvenir pernikahan. Kali ini, pilihan pengantin jatuh pada lonceng angin yang mereka lihat saat berkunjung ke pabrik. Itu adalah lonceng angin buatan Elok yang sengaja dipasang di sana karena dia buat tiga buah. Satu dibawa pulang, satu dipajang di pabrik sedangkan satu lagi... Dia berikan pada Dewangga. Entah bagaimana keadaan lonceng yang ketiga, Elok harap, Dewangga jaga dengan baik.
Elok menarik jaketnya lalu mulai memakai sandal hijau miliknya yang tampaknya sebentar lagi akan segera putus itu. Besok saja lah beli yang baru. Malam ini dia pengen makan nasi goreng di depan ShangRi La. Dia kunci pintu rumah lalu mulai berlari kecil melewati gerimis halus yang tiba-tiba jatuh ke bumi. Ah sial. Dia harus cepat upaya yang jualan tidak keburu tutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanfictionDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?