Rasanya aneh karena harus terlahir sebagai manusia yang ditakdirkan buat hidup menderita. Jika dipikir lagi, Dewangga kebingungan setengah mati mengapa pula sebelum ia dilahirkan, ia menyanggupi semua kilas yang telah dicatat sebagai takdir hidupnya. Segila apa dia menyanggupi buat hidup di dunia yang selalu jahat dengannya ini. Ayah telah mati, punya ibu pun tidak pernah peduli. Dewangga kecil mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa ia akan melihat ibunya dibawa pergi oleh lelaki kaya dengan mobil mewahnya dengan mata kepalanya sendiri. Oh sial. Bahkan untuk makan besok saja ia masih harus memutar otak, harus mengikat perut agar tidak mati konyol dalam keadaan kelaparan. Dewangga berdecak sesaat. Kalau ia selalu mendamba mati, kenapa tidak ia biarkan saja dirinya mati secara mengenaskan sambil menahan lapar... ya? Namun, kalau dipikir-pikir, ia benci rasa sakit yang harus ia rasakan saat kelaparan itu sendiri. Ia menyadari bahwa ia benci rasa sakit. Ia menyadari bahwa dirinya tidak sekebal itu, ia tidak mati rasa sama sekali semenjak kematian ayah. Yang mati hanya ayah, ia masih terus melanjutkan hidup dengan perasaan yang utuh. Yang berubah hanyalah takdirnya. Yang sudah jelek malah semakin jelek, yang sudah menyedihkan sudah tidak bisa dijelaskan melalui lisan.
Dia adalah remaja menyedihkan. Remaja tidak berundung yang harus terpaksa hidup dalam rundung murung. Kakinya yang beralaskan sandal yang sudah compang-camping berusaha diperbaiki itu melangkah pelan menuruni tangga dekat dermaga. Ia selalu lewat sini buat pulang ke rumah. Sekalipun jaraknya lebih jauh, Dewangga memang suka dengan saat-saat ia berada amat jauh dari sepetak bangunan itu. Buat apa terburu-buru, kan? Ia benci kala kesepian menjadi penyambut setelah letihnya tubuh dibuat oleh keadaan. Jadi, Dewangga putuskan untuk menempuh jarak terjauh dan terlama. Persetan dengan lelahnya tungkai. Ia masih bisa menahan nyerinya namun bagaimana dengan hati yang terasa kosong? Dewangga masih kesulitan buat mencari jawaban atas pertanyaannya selama ini; bagaimana cara ia berdamai dengan hari-hari yang sudah tidak pernah sedamai dulu?
Ia selalu hilang arah.... sampai pernah berpikir bahwa sejatinya, ia dilahirkan tanpa arah. Saat ayah sakit-sakitan ia bekerja mengumpuli sampah kardus buat dijual, saat ayah mati ... Semua yang ia lakukan itu seperti sudah tidak ada artinya lagi. Buat apa ia kumpulkan sampah kardus? Buat apa ia bekerja sampai tulang punggung terasa amat remuk? Buat apa ... Buat Siapa? Kalau biasanya ia akan bekerja demi belikan makanan yang hendak ayah santap, kalau biasanya ia bekerja demi menebus obat-obatan mahal buat obati sakit ayah, maka, sekarang, untuk apa?
Apakah ia bekerja hanya untuk perutnya?
Lalu perutnya diisi agar apa? Agar ia hidup lebih lama?
Untuk apa ia hidup lebih lama? Untuk bermuara di kesengsaraan lebih lama?
Dewangga menarik rokok batangan yang ia selipkan di telinga kirinya. Ia bakar dengan korek yang ia ambil secara sembarangan di atas meja para buruh yang tengah menikmati kopi mereka lalu hembuskan kuat-kuat asap yang telah ia hisap.
Tidak lega. Merokok pun tidak buat dadanya jadi lega.
Sebenarnya, Dewangga hidup untuk apa ... untuk siapa ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanfictionDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?