Babak Pertama; Si Badung Liar

439 64 0
                                    

Angin kencang berhembus, menyapu kulit Elok yang tengah duduk di jok belakang sepeda Intan yang tengah ditunggangi oleh Fajar di tengah-tengah derasnya hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin kencang berhembus, menyapu kulit Elok yang tengah duduk di jok belakang sepeda Intan yang tengah ditunggangi oleh Fajar di tengah-tengah derasnya hujan. Ada sang pemilik sepeda duduk di besi depan. Satu sepeda dipaksa untuk angkut tiga jiwa yang terbahak-bahak lebarkan tawa. Fajar mengayuh santai, berhati-hati agar Elok dan Intan tidak jatuh akibat ulahnya. Dirasa bahwa cengkraman Elok mengerat, Fajar makin kuatkan tawanya. Sekarang mereka tengah lalui jalan turunan yang tajam. Tiga sekawan saling doa supaya Fajar tidah oleng dan buat mereka jatuh tersungkur di asap basah petang ini.

Ditengah hujan deras tadi, Fajar dan Intan resmi berpacaran. Elok sadar bahwa di dalam pertemanan memang sulit buat tidak campur padukan rasa. Sebagai teman yang akrab dengan mereka berdua sejak lama, Elok senang hati terima kabar bahagia dari mereka berdua. Secara gamblang dia meminta pajak jadian lalu disanggupi oleh Fajar yang mulai menarik sepeda Intan buat membonceng Elok juga di belakangnya. Tidak ada gaduh, sebab ini sudah sering mereka lakukan.

Mereka akhirnya sampai di kedai mie ayam langganan, memesan tiga porsi dengan teh hangat sebagai peneman. Elok makan sambil bercucur keringat. Fajar malah tertawa karenanya.

"Kamu kepedesan ya?" tanya Intan sambil mengoper tisu kepada Elok.

Elok menyeruput kuah mie ayam. Kepalanya mengangguk, mengiyakan apa yang Intan katakan. Dia memang kepedasan tapi pedas sambal di warung ini selalu buat dia ketagihan. Pernah makan pedas tapi tidak ingin berhenti sangking enaknya? Begitu lah yang dirasakan Elok saat ini.

Hujan semakin deras kucuri bumi. Elok jadi mulai berpikir, bagaimana caranya dia pulang ke rumah. Mereka bertiga tinggalnya beda arah. Di persimpangan depan sana akan berpisah. Intan dan Fajar belok ke kanan, Elok belok ke kiri. Dari belokan itu Elok harus jalan kaki lagi buat masuk ke gang-gang sempi di mana rumahnya berada. Sepetak bangunan cukup buat menghangatkan tubuhnya dari sejuknya angin kencang, mengeringkan tubuhnya dari derasnya hujan, meneduhkannya dari teriknya matahari. Rumah kecil yang menyedihkan.

Bunyi gebrakan kencang buat Elok terkejut. Dia menoleh ke sumber suara, ke arah bu Irina, sang penjual mie ayam langganan mereka yang ternyata tengah dipalak oleh anak seumuran mereka. Elok menyipitkan matanya. Ini kali pertama dia melihat preman itu. Wajahnya ada banyak plester luka, bahkan lebam cerah pun masih tertinggal di sana. Dia tidak sendiri, datang bersama dengan tiga temannya. Menendang kursi-kursi dan meja yang sudah dipajang bu Irina sampai berserakan entah ke mana.

Elok tidak suka. Dia benci kekerasan, benci manusia yang selalu mengedepankan emosinya.

Dia berdiri, menggebrak mejanya sendiri sampai buat Fajar melotot dan memohon-mohon untuk segera duduk kembali. Tapi bukan Elok namanya kalau tidak berani. Dia menunjuk telak pada wajah para badung dengan wajah kesal. Petir yang menyambar buat suasana jadi jauh lebih dramatis dari yang Intan pikirkan sebelumnya. Elok menggulung lengan baju putihnya. Dia menjauh dari meja, berdiri berhadapan dengan yang penuh lebam wajahnya. Mereka bertatapan cukup lama, dengan kerutan kencang di dahi keduanya.

"Kalau mau duit tuh ya kerja! Bukannya malak orang! Gila kah?" cerca Elok dengan mulut besarnya. Dia lah pahlawan kesiangan itu.

Si badung itu tertawa. Menaikkan satu alisnya sambil berkacak pinggang di depan Elok. Tengil. Tengil sekali raut wajah itu. Tapi, Elok tidak boleh emosi.

Badung itu dekatkan wajahnya, meletakkan jari telunjuk pada dahi Elok lalu mendorongnya cukup keras sampai tubuh Elok hampir oleng.

"Tolol," katanya singkat, padat, bangsat!

Elok kesal. Dia hendak maju. Tapi tubuhnya lebih dulu ditarik Fajar. Elok mana bisa berkelahi. Tubuhnya saja yang besar tapi dia tidak punya keahlian dibidang bela diri. Elok selalu maju ke pertikaian bermodalkan nyali. Tentu Fajar tidak ingin ambil resiko besar karena kalau pulang dengan wajah lebam, Elok pasti akan dimarahi. Ayahnya Elok tidak akan senang anaknya jadi nakal.

Tubuh Elok diraih oleh anak nakal tadi. Anak nakal yang tidak pakai seragam, anak nakal yang penuh lebam.

Elok diam. Dalam hati memaki-maki akan kebodohan diri. Kenapa harus pahlawan ya, tadi? Sekarang, saat bibir terluka itu bergerak ke arah telinganya, Elok dibuat merinding seujur tubuh rasakan deru napas berat nan panas di sana.

"Denger baik-baik," bisik pemilik suara berat yang saat ini menarik bordir nama di seragam Elok, "Nakula Elok," namanya disebutkan buat pertama kali. Elok dibuat kesukitan buat meneguk ludah. Si badung itu mendengus. "Anggap aja hari ini lo lagi beruntung karena gue gak mau berantem. Sebagai gantinya, uang saku lo gue ambil," bisiknya pelan dan merogoh saku seragam Elok.

Kejadiannya sangat cepat. Sosok itu lari sangat cepat, diikuti oleh kawan-kawannya sambil terbahak-bahak. Elok yang baru sadar pun langsung mengejar. Tidak peduli seragamnya basah, tidak peduli tasnya ketinggalan. Elok lebih peduli dengan uang sakunya. Dia harus bayar fotokopi buku sejarah dan uang yang diambil oleh badung menyebalkan ktu adalah uang yang akan dia pakai nanti malam. Sial, sial. Kalau minta lagi ke ayah, bisa-bisa Elok dimarahi.

"WOI ANJING BALIKIN DUIT AKU!" teriak Elok sambil menunjuk-nunjuk berandalan yang mulai membalikkan badan sambil menjulurkan lidahnya.

"NAMA GUE DEWANGGA, BUKAN ANJING! SALAM KENAL, NAKULA!" teriakan itu kencang, menggema di tengah-tengah derasnya hujan.

Dewangga, namanya. Si badung liar yang mencuri uang buat fotokopian buku sejarah di bawah Langit petang berguyurkan hujan.

Elok berhenti berlari saat Dewa mulai memanjat tembok. Yang mana dibalik tembok itu adalah tempatnya para pecun bersarang. Wisata lendir, kata orang, sarang wanita malam kalau kata Elok. Tubuhnya berdiri tegak dengan Fajar dan Intan yang mengejar di belakang.

Elok menerka, apa yang remaja lakukan di tempat seperti itu? Akan Elok ingat-ingat namanya; Dewangga si badung liar yang curi uang fotokopiannya, Dewangga si badung liar dengan wajah penuh memar, Dewangga si badung liar yang suara beratnya buat Elok bergetar samar.

Elok menerka, apa yang remaja lakukan di tempat seperti itu? Akan Elok ingat-ingat namanya; Dewangga si badung liar yang curi uang fotokopiannya, Dewangga si badung liar dengan wajah penuh memar, Dewangga si badung liar yang suara beratnya buat El...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arung DukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang