Teriknya matahari tidak menyurutkan semangat Dewangga buat memikul barang-barang milik nenek sepuh yang minta diangkatkan barang belanjaannya sampai ke rumah. Sekalipun sudah lewat dari waktunya bekerja, Dewangga tetap turuti permintaan nenek tersebut. Ia jadi teringat neneknya yang sudah tidak ada. Rentanya wanita itu berjalan pelan dengan sebuah tongkat buat Dewangga jadi iba. Oh, sejak kapan pula ia memiliki simpati pada orang lain. Mereka berjalan cukup jauh, masuk ke pemukiman yang didominasi oleh orang-orang Tionghoa dan semerbak bau tumisan bawang putih dan perbumbuan masakan chinese menusuk hidung Dewangga. Ia jadi lapar. Perutnya juga bergemuruh hebat karena kebetulan sekali pagi tadi ia tidak sarapan karena kehabisan uang. Mungkin ia harus merubah sedikit kebiasaan buruknya yang lebih memprioritaskan rokok dibanding makanan. Ia lebih baik memikirkan perutnya dibanding ruwetnya seisi kepala. Mereka akhirnya sampai di sebuah ruko kayu, Dewangga disuruh masuk dengan lembut sambil memikul barang-barang bawaan tadi. Ia letakkan kardus berisikan bahan makanan dan dua kantong besar berisikan telur serta mie.
Ia tersenyum lembut pada nenek yang tertawa manis sambil mengusap-usap bahunya, "Aduh, aduh... Kuatnya Dewangga," pujian itu buat matanya agak berair.
Nenek itu memang tahu namanya karena tadi, Dewangga juga perkenalkan dirinya. Ia malah mengalir bercerita bahwa hanya hidup sebatang kara setelah ditinggalkan oleh ayahnya. Sengaja tidak menyinggung soal ibu karena pasti si pecun desa enggan buat diikut sertakan dalam kisah menyedihkan hidup Dewangga. Ia menghargai keputusan wanita itu buat menghapus ingatan bahwa beliau pernah melahirkannya dengan susah payah dan mengurusnya selama beberapa tahun sebelum ayah meninggal. Ia akan menghargai keputusan ibu yang berkata bahwa Dewangga adalah karma buruk yang tidak pernah diinginkan kehadirannya. Ia menghargai ibu yang harus kehilangan semuanya hanya karena sebuah cinta yang terasa amat fana.
Ibu tidak ingin Dewangga ada dan Dewangga hargai keinginan ibu dengan meyakini bahwa mereka adalah dua manusia yang tidak memiliki hubungan darah. Ia tidak mengenal siapa itu ibu, dan ibu bukanlah ibunya. Dengan hal itu, ibu sudah pasti bahagia dan Dewangga hanya ingin yang terbaik buat ibunya sekalipun eksistensinya tidak pernah dianggap oleh yang ia cinta.
"Sudah makan, Dewangga?" tanya nenek tadi dengan senyum lembutnya.
Anggukan kecil penuh kebohongan Dewangga berikan. Ia tidak mau dikasihani. Jadi, ia terpaksa berbohong. "Sudah, nek. Tadi pagi udah sarapan. Jadi, sekarang masih agak kenyang."
"Lho? Bisa gitu yah? Padahal kamu angkat-angkat barang lho, pasti capek. Tenaga pasti banyak habis," suara agak cempreng dengan logat khas nenek-nenek Tionghoa menyapa gendang telinga Dewangga.
Ia tanpa sadar tertawa kecil dan mengibaskan tangannya di depan wajahnya sendiri. "Beneran udah kenyang."
"Ya sudah kalau gitu, tunggu sebentar ya," katanya sambil beranjak masuk melewati sebuah pintu dan menghilang di belokan kanan.
Dewangga akhirnya bernapas lega. Ia menarik sebuah kursi dan duduk. Matanya menatap rumah duka yang berhadapan langsung dengan rumah si nenek. Aroma masakan itu masih menerjang hidungnya dan buat Dewangga agak lapar jadinya. Kwetiau goreng basah adalah menu paling enak di kawasan sini. Yang berjualan adalah Along—bapak dari teman Dewangga semasa SMP—masakan beliau selalu enak bahkan dulu, sebelum meninggal, ayah selalu belikan sebungkus buat Dewangga kalau ada rezekinya. Kwetiau goreng basah adalah makanan mewah untuknya. Dari dulu... sampai sekarang. Karena sekalipun ia sudah bisa mencari pundi rezeki sendiri, Dewangga rasa, penghasilannya tidak pernah benar-benar cukup buat digunakan sebagai pengisi perut karena sebagian besar hasil kuli pikulnya ia pakai untuk menghilangkan suntuk dan monster besar di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arung Duka
FanfictionDewangga dan Elok dibuat bertanya perihal porsi bahagia. Jika memang bahagia diciptakan buat semua orang, lantas, mengapa mereka hanya kerap rasakan duka?