Bab 11. Nawasena

1.7K 136 3
                                    

Duka mendalam atas kepergian orang yang sangat dicintainya, membuat Nattaya kadang berpikir kalau itu sepadan dengan harga yang  harus dia bayar karena pernah memilikinya dalam hidupnya. Semakin dalam luka yang tertoreh, menunjukkan sedalam apa rasa cinta yang dia miliki.

Lima belas tahun sudah berlalu sejak kepergian Nawasena, tapi kenangan yang sudah tercipta tak pernah hilang dari ingatannya.

Setelah berdoa lama sekali di depan pusara, Nattaya menaruh lima belas tangkai mawar putih di dekat batu nisan.

"Hari ini seharusnya kita merayakan ulang tahunmu yang ke tiga puluh lima, Mas." Dia tersenyum, meski pipinya lembab oleh sisa-sisa air mata.

"Kamu juga akan bisa melihatku ternyata bisa bertahan sejauh ini." Dibelainya nama Nawasena yang terukir di atas nisan dengan mata kembali basah.

"Aku nggak tahu, apakah Tuhan sangat menyayangiku sampai diberi umur sepanjang ini, atau justru menghukumku agar bisa merasakan penderitaan lebih lama. Namun, kalau saja bisa memilih takdir, seharusnya aku yang lebih dulu pergi, bukan kamu."

Bahunya yang tampak rapuh, naik turun. Isak tangisnya kembali terdengar. "Hidupku benar-benar kacau sejak kamu nggak ada, Mas. Dan aku nggak tahu bagaimana cara membereskannya."

Pak Rahmat yang mengawasi tidak begitu jauh dari makam, tampak gundah saat menyadari Nattaya mulai kehilangan kendali. Pemandangan yang sudah akrab tiap kali menemani majikannya itu mengunjungi makam Nawasena.

"Mas Sena pasti sedih kalau liat Mbak Natt kayak gini," ucapnya dengan hati terenyuh. Dia ikut berjongkok di dekat di sisi makam dan membersihkan beberapa daun kering yang mengotori gundukan tanah tersebut.

"Aku tetap belum bisa maafin diriku sendiri, Pak. Kenapa Tuhan lebih memilih Mas Sena untuk pergi lebih dulu ... kenapa nggak aku saja? Padahal aku yang lebih pantas mati. Keberadaanku nggak bisa ngasih manfaat apa-apa pada dunia."

"Istighfar, Mbak." Pak Rahmat menepuk-nepuk bahu Nattaya dengan mata berkaca-kaca. "Nggak ada satu pun makhluk yang diciptakan Allah dengan sia-sia. Semua memberi manfaat pada kehidupan. Ingat Neng Lula. Dia salah satu alasan keberadaan Mbak ada di dunia ini."

Bayangan wajah cantik dan polos Alula membuat tangisannya semakin keras. "Lula seharusnya punya ibu yang hebat dan bisa dibanggakan, Pak. Bukan pecundang sepertiku!"

"Seburuk apa pun seorang ibu menilai dirinya sendiri, tapi di mata seorang anak, ibu tetaplah dunianya. Orang yang paling dia cintai dalam hidupnya."

Nattaya menyeka air matanya dengan ujung lengan baju. Kepalanya terasa sakit sekali karena terlalu banyak menangis. Namun, kalimat yang diucapkan Pak Rahmat barusan memberikan sedikit kesejukan pada jiwanya yang gersang.

"Bapak percaya, Mas Sena tidak pernah benar-benar pergi ninggalin kita. Ada hal-hal yang nggak bisa disentuh oleh kematian. Rasa cinta, kebaikan dan semangat yang  Mas Sena curahkan semasa hidup, akan terus menyertai langkah Mbak Nattaya sampai kapan pun."

Langit pagi di akhir bulan November itu semakin menggelap. Angin yang berembus membawa hawa lembab dan dingin. Nattaya bersedekap memeluk tubuhnya yang sedikit menggigil. Entah mengapa, beberapa bulan belakangan ini dia merasa semakin ringkih dan lemah. Usianya baru menginjak tiga puluh tahun, tapi dia sudah merasa seperti wanita jompo.

"Kita pulang sekarang, ya, Mbak? Sebentar lagi mau hujan." Dibantunya perempuan itu bangkit, lalu tersenyum meski hatinya ikut hancur.

"Antar aku ke rumah Papi," katanya ketika mobil meluncur keluar dari area pemakaman. 

Dia merasa lelah sekali, padahal baru pukul sepuluh pagi. Direbahkannya tubuhnya ke kursi penumpang sambil memejamkan mata. Pada kondisi fisik dan mental berada di titik rendah seperti ini, kadang-kadang Nattaya merindukan agar kematian segera menjemputnya. Tiga puluh tahun hidup di dunia ini terasa sangat lama sekali.

SEWINDU DALAM KESUNYIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang