Bab 9. Cermin

1.5K 126 10
                                    

"Kamu pernah dengar, nggak, ada ungkapan yang bilang kalau wanita cantik, harus memecahkan cerminnya terlebih dahulu?"

Dulu sekali ada seseorang yang mengatakan hal itu pada Nattaya. Seseorang yang sangat dicintainya, melebihi dirinya sendiri. Satu-satunya orang di dunia ini yang juga mencintai dan sangat peduli padanya. Nawasena.

"Aku baru dengar," katanya singkat. Dipandanginya sekilas cermin di hadapannya dengan hati gundah.

Sebenarnya Nattaya tidak terlalu suka berlama-lama di depan cermin. Melihat bayangan dirinya secara keseluruhan, entah mengapa membuat perasaannya tak aman. Kulitnya pucat. Mengingatkannya pada manusia vampir di film remaja Twilight. Sayangnya, dia tak punya kekuatan super seperti para vampir di film tersebut. Sebaliknya, fisiknya sangat lemah, sampai-sampai Papi tak mengizinkannya keluar rumah. Tak ada sekolah, tak ada kawan. Sejak kecil dia hanya berteman kesunyian. 

Guru-guru terbaik didatangkan untuk mengajarinya berbagai disiplin ilmu setara sekolah pada umumnya. Papi baru mengizinkannya belajar di luar rumah setelah memasuki bangku perkuliahan. Tentu saja dengan pengawalan super ketat, yang membuatnya tak bisa leluasa berteman dengan siapa pun.

"Pandanganmu soal kecantikan harusnya berasal dari dalam dirimu, Natt, bukan dari penilaian orang lain atau standar dari lingkungan sekitar." Nawasena membelai rambut Nattaya sekilas. Dia bukannya tidak tahu betapa buruknya gadis itu menilai dirinya sendiri.

"Kalau soal itu, aku tahu. Tapi, jujur saja, nggak ada yang bisa membuatku merasa baik dengan apa adanya diriku. Nggak hanya soal apa yang terlihat di luar, tapi juga apa yang ada di dalam." Dia mencoba tersenyum.

"Kamu cantik tentu saja," erang lelaki itu protes. "Kamu cantik dan sangat berbakat!"

"Oh, no!" Nattaya memutar matanya tak percaya. "Satu-satunya yang aku sukai pada diriku hanyalah, karena aku memilikimu. Mas janji, ya,  jangan pernah tinggalin aku!"

Lelaki itu tertawa sambil mengacak-ngacak rambutnya gemas. "Janji!"

Namun, Nawasena tak menepati janjinya.

Masih segar di ingatan Nattaya, hari itu dia memohon pada Papi agar diizinkan pergi berdua saja dengan Nawasena, bukan diantar oleh Pak Rahmat supir mereka.  Walau berat hati, tapi Papi akhirnya menyetujui juga.

"Aku ingin puas-puasin jalan-jalan hari ini, sebelum Mas ke Boston."

"Siap! Kita mulai dari mana, nih?"

Nattaya excited sekali, sampai-sampai bingung harus mulai dari mana. Diberi kesempatan pergi berdua saja dengan Nawasena adalah hal langka yang sangat jarang terjadi. Dia ingin memanfaatkan momen itu sebaik-baiknya.

"Uhm, kita ke mall, jalan-jalan, nonton dan terakhir belanja. Sebelum pulang kita singgah sebentar ke galeri milik  guru seniku. Aku butuh beberapa saran darinya mengenai lukisan yang sedang kubuat."

"Your wish is my command!" Nawasena tertawa dan mengemudikan mobil dengan tenang. Mereka lalu mengobrol banyak hal dan bernyanyi riang mengikuti irama musik sepanjang jalan.

Nattaya ingat betul, hari itu dia bahagia sekali, sampai-sampai dadanya seakan meledak karena luapan endorfin. Menghabiskan waktu seharian di luar rumah bersama Nawasena seakan tak pernah cukup. Lelaki itu tahu betul bagaimana cara membuatnya merasa berharga dan sangat dicintai.

Dalam perjalanan pulang, Nattaya tiba-tiba saja meminta untuk berhenti. Dia ingin sekali mencicipi siomay yang dijual di gerobak kaki lima di seberang jalan. Seumur hidup dia belum pernah mencobanya, karena aturan makanan dari keluarga Danu Atmaja ketat sekali.

"No! Kamu nggak bisa makan sembarangan, nanti sakit perut!" tolak Nawasena tegas.

"Aku ingin sekali saja merasakan hidup seperti orang normal, tanpa perlu merisaukan apa pun. Dan hanya saat bersamamu aku bisa  mewujudkannya. Besok kamu udah harus ke Boston dan entah kapan pulang." Nattaya terus melancarkan rayuan dengan wajah memelas.

Pada akhirnya Nawasena luluh juga. Dia turun dari mobil demi mengabulkan keinginan Nattaya. Entah apa rencana Tuhan di balik semua itu. Tapi kalau saja Nattaya tahu permintaan tersebut justru membuatnya harus kehilangan Nawasena selama-lamanya, tentu dia tak akan pernah membujuk agar lelaki itu mengabulkan keinginan konyolnya itu.

Sebuah mobil minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi dari sisi kanan, menyambar Nawasena, tepat saat dia menyeberang dengan sekantong siomay di tangan. Tubuhnya sempat terpental sejauh dua meter ke sisi jalan. Darah segar membanjiri tempat di mana dia tergolek meregang nyawa.

Kepergiannya yang sangat mendadak tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan, membuat langit di dunia Nattaya runtuh seketika. Sudah ratusan purnama berlalu, tapi dia masih belum bisa merelakan kepergian Nawasena, hingga detik ini. Bahkan mungkin seumur hidupnya, dia akan terus menyalahkan diri atas kejadian naas tersebut.

Namun, ada satu hal yang berubah dari Nattaya semenjak kepergian lelaki itu. Apalagi setelah dia bertemu Kalingga beberapa tahun kemudian. Nattaya mulai akrab dengan cermin. Sedikit demi sedikit, dia mulai mencari cara untuk menutupi apa yang tak disukainya dari pantulan cermin itu demi memenuhi standar penilaian lingkungan soal perempuan cantik.

Bertahun-tahun dia melakukannya di sepanjang pernikahan mereka, tapi sayang sekali, semua usahanya tak kunjung membuat seorang Kalingga mau melihatnya.

Malam ini, Nattaya kembali duduk di depan cermin. Mengamati wajahnya yang semakin tirus karena bobot tubuhnya terus berkurang dari waktu ke waktu. Saat menyingkap gaun tidur, dia menemukan memar biru kehitaman di beberapa bagian tubuhnya. Terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Tapi, sungguh, Nattaya tak lagi mempermasalahkan itu semua. Dia sudah bisa menerima apa adanya dirinya dengan hati yang jauh lebih lapang.

Butuh belasan tahun dan luka demi luka yang meremukkan hati, untuk akhirnya bisa mengerti ucapan Nawasena soal "memecahkan cerminnya."

Wanita cantik, harus memecahkan cerminnya terlebih dahulu.

Bunyi pintu penghubung yang terbuka perlahan, memutus lamunan Nattaya. Dia buru-buru merapikan gaun tidur agar bisa menutupi tubuhnya dengan sempurna.

"Kamu nggak bisa lagi seenaknya masuk ke kamarku tanpa meminta izin," tegurnya melihat Kalingga tanpa basa basi duduk di tepi ranjang, tak begitu jauh dari meja rias di mana Nattaya berada.

"Oke, aku minta izin sekarang," kata lelaki itu singkat. Dia menatap Nattaya sejenak, sebelum akhirnya menyodorkan kotak P3K.

"Obati kakimu!"

"Kakiku nggak apa-apa," ucapnya keheranan. Benar kakinya sempat terluka tadi karena terkena pecahan kaca, tapi itu bukan hal serius.

Kalingga menghela napas panjang sebelum akhirnya berpindah posisi dan duduk di lantai dekat kaki perempuan itu, lalu memeriksa jarinya yang terluka.

"Nggak usah repot-repot."

"Jangan salah sangka. Aku melakukan ini demi Alula. Dia pasti nggak mau liat bundanya terluka." Tanpa menunggu persetujuan, diolesnya jari yang luka itu dengan cairan Betadine.

"Alula sudah tidur dan dia nggak tahu soal ini. Jadi, nggak perlu." Nattaya menyingkirkan kakinya. Sungguh, dia benar-benar tidak habis, pikir mengapa Kalingga jadi seaneh ini.

"Aku mau istirahat." Dia bangkit dari duduknya agar bisa menjauh dari lelaki itu.

"Sebaiknya Mas kembali ke sebelah. Besok aku akan meminta Pak Rahmat untuk mematikan pintu penghubung itu," usirnya terus terang.

"Nggak usah. Lain kali aku akan mengetuk pintu kalau akan menemuimu."

"Kita bisa bertemu di mana saja, selain di kamar. Secara hukum negara kita memang belum resmi bercerai, tapi secara hukum agama sudah. Malam kemarin, saat kamu bilang ingin berpisah," ucapnya datar.

Kalingga tak berkutik. Dipandanginya wajah mantan istrinya itu lama sebelum berkata. "Kamu bisa pegang kuncinya, jadi aku nggak akan pernah bisa masuk." Dibukanya kedua tangan Nattaya, lalu ditaruhnya kunci pintu tersebut di sana.

-tbc-

Lia Musanaf

Versi lengkap di kbmapp dan Karyakarsa ya 😘

SEWINDU DALAM KESUNYIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang