Bab 8. Luka yang Terpendam

1.6K 132 7
                                    

"Apa Ayah pernah benci banget sama seseorang dan ingin mencelakai mereka, seperti Kenny?" Alula bertanya setelah mereka membahas sebuah cerita yang baru saja dibacakan Kalingga untuknya. Tentang seorang anak bernama Kenny yang  mencelakai temannya karena dengki hidupnya tidak seberuntung temannya itu.

"Pernah," kata Kalingga setelah terdiam cukup lama. "Ayah dulu pernah benci banget sama seseorang dan ingin menghukumnya."

"Benarkah?" Mata gadis itu langsung membelalak tak percaya.

"Tapi, Ayah nggak jadi melakukannya," kata Kalingga kemudian. Dia tidak tega menghancurkan hati putrinya yang mungkin beranggapan kalau ayahnya seorang super hero berhati malaikat.

"Syukurlah. Aku nggak mau Ayah kayak Kenny." Alula menyurukkan kepalanya ke bawah lengan Kalingga yang hangat.

Pria itu tertawa kecil seraya mengecup kening putrinya. "Nggak lah. Ayah tahu, kalau kebencian yang dipendam lama itu kayak menyimpan api yang justru menghanguskan diri kita sendiri. Mencelakai orang yang kita benci bukan cara yang benar untuk membalaskan sakit hati."

"Memangnya kesalahan orang itu apa, sih, sampai ayah sangat membencinya?"

"Kesalahannya banyak banget sampai ayah nggak bisa memaafkannya, tapi dia nggak pernah merasa bersalah sedikit pun."

"Kok, bisa? Apa jangan-jangan dia nggak tahu kalau perbuatannya ke Ayah itu suatu kesalahan?"

Ucapan polos Alula membuat Kalingga kembali terdiam.

"Ya, bisa jadi. Mungkin dia nggak tahu kalau udah melakukan kesalahan yang membuat ayah sangat membencinya."

"Kenapa Ayah nggak bilang saja sama dia? Biar dia tahu dan minta maaf sama Ayah."

"Iya seharusnya Ayah bilang, tapi Ayah nggak melakukannya dan memilih memendam kebencian itu. Kebencian yang membuat Ayah tersiksa sendiri..."

"Terus sekarang gimana? Apa Ayah masih membencinya?"

Kalingga tertawa kecil sambil mengelus kepala putrinya dengan lembut. "Ayah sudah memaafkannya. Lagian, mungkin saat itu Ayah hanya dibutakan oleh kebencian, padahal bisa jadi ayah juga pernah melakukan kesalahan padanya."

"Jadi, sekarang Ayah sudah baikan sama dia?"

Kalingga tak kuasa menatap wajah Alula lama-lama. Sorot matanya yang polos seperti mengulitinya hidup-hidup. Dia tak mengira, kalau cerita yang dia bacakan sebagai pengantar tidur itu, justru menjadi obrolan yang mengorek luka terdalamnya. Seharusnya dia tadi tidak terlalu serius menanggapi pertanyaan putrinya itu. Bagaimana pun juga, meski baru tujuh tahun, tapi rasa ingin tahunya yang besar terkadang membuat Kalingga kewalahan menghadapinya.

"Sudah. Ayah sudah baikan sama dia." Dia tersenyum lalu mengelus pipi Alula penuh sayang. "Sekarang tidur, ya. Sudah malam."

"Iya, Yah. Tapi sebelumnya aku masih punya satu pertanyaan lagi."

"Mau nanya apa?"

"Ayah ... lagi marahan sama Bunda, ya?" Suaranya terdengar sangat berhati-hati saat bertanya.

"Nggak, kok." Kalingga benar-benar terkejut. "Kenapa Lula mikir Ayah sama Bunda lagi marahan?"

"Aku liat tadi Bunda kayak nggak gembira aja. Padahal harusnya Bunda senang, karena akhirnya kita bisa makan sama-sama. Selama ini, kan, tiap makan malam, Bunda hanya nenemin aku doang. Nggak ikut makan karena katanya nunggu Ayah. Eh, pas Ayah bisa pulang cepat dan kita bisa makan sama-sama, malah Bunda kayak nggak semangat gitu, makannya juga dikit banget," keluh gadis itu dengan wajah murung, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata sendu. "Ayah merhatiin, nggak, tadi?"

SEWINDU DALAM KESUNYIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang