Bab 1. Bercerai Saja, Bun!

3K 145 5
                                    

"Bun, apa Bunda bakal pisah sama Ayah?"

Pertanyaan lirih yang terucap dari bibir Alula putri kecilnya, sontak membuat Nattaya tertegun cukup lama. Mata bulat jernih itu menatapnya sendu, seakan menyuarakan kepedihan hatinya.

"Lula ngomong apa, sih? Kenapa tiba-tiba nanya kayak itu?" Nattaya memaksakan sebuah senyum manis terukir di bibirnya. Berharap senyuman itu bisa membuat mendung di wajah sang buah hati segera menghilang.

"Jadi nggak benar, kan?"

Alula memang baru tujuh tahun, tapi perasannya yang sangat halus dan peka untuk ukuran anak seusianya, bisa merasakan ada yang tidak beres dengan pernikahan orang tuanya. Kamar terpisah, wajah Ayah dan Bunda yang selalu tampak tegang saat berdua saja, meski disamarkan dengan senyum kaku kalau Alula tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah mereka. 

"Bunda sama Ayah baik-baik saja. Bunda heran, deh, kenapa Lula berpikir kalau kami akan berpisah?" Dia langsung menepuk-nepuk bahu putrinya dengan lembut, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri seperti teremas-remas oleh sesuatu yang terasa dingin dan menyakitkan.

Alula menunduk sambil mengaduk-aduk minuman cokelat panasnya dengan mata memerah. 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑑𝑎 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑜ℎ𝑜𝑛𝑔?

"Aku tahu, kok, Bun." Dia mengangkat wajahnya berusaha tampak tegar, meski suaranya bergetar lirih dan rinai di matanya mulai berjatuhan. "Aku tahu semuanya ...."

"Apa yang Lula ketahui?" Nattaya membawa kepala Alula ke dalam dekapannya. Membiarkan tangisan gadis itu akhirnya pecah dan mengiris-iris hatinya.

"Aku tahu ... Bunda sering nangis diam-diam karena Ayah. Walau Bunda nggak bilang, tapi aku tahu Ayah sering bikin Bunda sedih." Dia tergugu dalam pelukan sang ibu.

Nattaya membelai rambut panjang Alula penuh sayang. Dibiarkannya gadis kecil itu meluapkan semua emosi di dalam dirinya sambil mengemasi air matanya sendiri. Lama mereka berpelukan, sebelum akhirnya dia berkata dengan lembut.

"Nangis dan sedih itu manusiawi banget, kok. Semua orang pasti pernah mengalaminya. Bunda emang pernah sedih dan nangis. Tapi bukan berarti, tiap kali Bunda sedih, Ayah penyebabnya."

"Lalu yang bikin Bunda sedih dan nangis siapa?"

Nattaya tampak berpikir sejenak. Dia tidak ingin memberikan jawaban asal-asalan, karena Alula anak yang berpikiran kritis dan tidak mudah diyakinkan begitu saja.

"Uhm, kadang Bunda sedih saat teringat almarhum Nenek. Atau ketika tiba-tiba Bunda mendengar kabar duka dari temen-temen. Bunda bahkan juga bisa sedih saat Lula sakit." Dia tersenyum seraya membelai pipi putrinya penuh perasaan.

"Tapi ... maksudku bukan yang itu, Bun." Alula menekuk wajahnya dalam-dalam. "Aku sering liat ... abis ngomong sama Ayah, muka Bunda tiba-tiba sedih."

"Oh, ya? Kapan itu?"

"Tadi pagi ...."

"Oh, itu. Ayah tadi cerita kalau di kantor ada anak salah satu staff-nya masuk rumah sakit. Parah. Jadi, dia terpaksa cuti." Jawaban itu terlontar begitu saja dari bibir Nattaya.

"Hanya karena itu Bunda bisa sedih?" Alula tampak tak percaya.

"Ya, Bunda gampang sedih tiap kali denger kabar anak-anak sakit. Karena pasti otomatis kepikiran sama anak kesayangan Bunda ini." Dikecupnya dahi putrinya itu gemas.

Alula merenggangkan tubuh dari pelukan Nattaya dan menatap kedua mata ibunya dalam-dalam. Hatinya mulai diliputi keraguan. 𝐴𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝐵𝑢𝑛𝑑𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑡𝑎 𝑗𝑢𝑗𝑢𝑟? pikirnya sambil membayangkan lagi kejadian tadi pagi saat ayahnya mengatakan sesuatu dengan muka tegang, lalu ibunya diam-diam menyeka sudut mata. Juga kejadian-kejadian serupa yang terus berulang dalam sepanjang ingatannya.

𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝐴𝑦𝑎ℎ, 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑝𝑎 𝐵𝑢𝑛𝑑𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑡𝑎𝑚𝑝𝑎𝑘 𝑠𝑒𝑑𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑢𝑟𝑢𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑙𝑒𝑠𝑎𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑖𝑐𝑎𝑟𝑎?

"Kak Zia bilang, orang tua suka menyembunyikan sesuatu..." Alula masih belum percaya dengan penjelasan ibunya. "Orang tua kadang suka bohong pada anak-anaknya."

Nattaya bagai tertohok mendengar kalimat lugas itu. Zia adalah kakak senior Alula di klub pecinta buku yang diikutinya dan sering hadir di setiap cerita keseharian Alula. Orang yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri dan juga sebagai tempatnya berbagi rahasia.

"Bunda mengerti, Lula percaya sama Kak Zia, tapi nggak semua perkataan Kak Zia selalu benar, Sayang," ucapnya hati-hati. Mata polos putrinya itu tak lagi mampu membuat Nattaya merasa aman dari kejaran rasa bersalah.

"Mama dan Papa Kak Zia akan bercerai, Bun." Air mata Alula kembali berderai-derai.

"Dulu tiap kali Kak Zia nanya apakah mamanya bertengkar sama papanya, mamanya bilang nggak. Padahal Kak Zia bilang, dia lihat sendiri, mamanya dipukul, Bun!" Napas Alula tersengal-sengal tak kuasa menahan perasaan sedih yang menggumpal di dalam dadanya.

"Ya, Allah. Kasian sekali." Nattaya menyeka air mata yang membanjiri pipi Alula. Rasanya tidak tega, gadis kecilnya ikut terluka karena permasalahan rumit orang dewasa yang tidak seharusnya dia pikirkan.

"Kenapa papa Kak Zia harus mukul, sih, Bun? Kalau mama Kak Zia ada salah, emang nggak bisa dikasih tahu baik-baik?"

Alula benar, apa pun persoalan yang dihadapi harus dibicarakan baik-baik. Begitulah seharusnya cara orang dewasa menyelesaikan masalah. Bukan dengan kekerasan atau didiamkan selama bertahun-tahun sampai masalah tersebut menggunung dan akhirnya menjadi ledakan yang merusak segalanya. Hati Nattaya terasa dicubit. Betapa anak seusia Alila lebih mengerti dan bijak dari orang dewasa seperti dirinya.

"Iya harusnya dibicarakan baik-baik. Kekerasan itu nggak dibenarkan sama sekali. Mungkin, Papa Kak Zia gelap mata karena terlalu emosi," ucap Nattaya lirih.

"Tapi Kak Zia bilang, sekarang dia lega karena papanya nggak lagi mukul mamanya."

"Syukurlah."

"Iya, dia bersyukur karena mamanya akhirnya pergi dari rumah setelah bercerai dari papanya."

Nattaya terdiam mencoba menyelami apa yang ada di dalam kepala putrinya itu dan mencoba menghubungkan dengan pertanyaan awalnya tadi tentang perpisahan.

"Aku nggak mau Bunda juga sampai dipukul sama Ayah. Aku nggak mau Bunda disakiti sama Ayah." Suara itu terdengar sedih sekali.

"Percayalah, Ayah nggak bakal nyakitin Bunda. Ayah nggak sama kayak papanya Kak Zia," hibur Nattaya. Matanya berkaca-kaca saat mengucapkan hal tersebut. Dia sama sekali tidak berbohong. Kalingga memang tidak akan menyakitinya dengan cara seperti itu, karena lelaki itu punya cara sendiri untuk menyakitinya dan Alula tidak perlu tahu.

"Aku sayang banget sama Ayah. Aku juga sayang banget sama Bunda." Bibirnya bergetar susah payah menahan agar tangisannya tidak kembali meledak. "Tapi ... tapi kalau Ayah sampai menyakiti Bunda, nggak apa-apa ... kalau bercerai saja, Bun!"

Selama beberapa saat Nattaya terpaku. Rasanya sulit dipercaya kalau dia akan mendengar hal semacam itu dari putrinya. Bagaimana bisa Alula sampai pada kesimpulan seperti itu? Seberapa dalam luka yang yang sudah tertoreh di dalam hatinya karena masalah pelik keluarga mereka yang sudah susah payah Nattaya tutupi dari siapa pun?

Kembali didekapnya gadis itu dengan hati yang nyaris remuk, sambil mencoba menenangkan gemuruh di dadanya sendiri.

-tbc-

Mohon dukungannya pada cerita terbaru saya di KBMapp dan Karyakarsa. Tengkiuu 😘😘

SEWINDU DALAM KESUNYIAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang