Perjalanan Panjang

22 1 0
                                    

Ihya memandang boneka paus biru yang tengah dipegangnya. Boneka paus yang diberikan Nita sesaat sebelum ia mengantri untuk pemeriksaan tiket kereta. Jujur ia tidak menyangka jika rasanya akan seberat ini. Berat meninggalkan kota yang bertahun-tahun menjadi saksi perjuangannya menyelesaikan pendidikan hingga jenjang magister. Kota tempat ia mengukir banyak kenangan, khususnya bersama keluarga Dion yang banyak membantunya di Jakarta.

Tapi bukankah hidup harus terus berjalan. People always come and go. Sama halnya dengan keluarga Dion yang harus Ihya tinggalkan demi melanjutkan hidup ke tahap yang lebih tinggi. Karena itulah, bagaimanapun ia harus rela untuk melakukannya. Ihya percaya. Di tempat baru sana, akan ada orang baru pula yang memberikan cerita yang berbeda untuknya.

Lepas menyerahkan tiket dan kartu identitasnya kepada petugas, Ihya bergegas menyimpan boneka paus biru ke dalam tas yang digendongnya. Barulah setelah pemeriksaan tiket selesai dilakukan, Ihya lalu menarik kopernya menuju kereta jurusan Jogja yang kebetulan sudah datang.

Sejenak Ihya menyempatkan diri melirik jam yang terpasang di tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Kurang sepuluh menit lagi dan kereta akan berangkat. Dalam hati Ihya bersyukur. Gerbong yang ditempatinya masih belum ramai. Bahkan dari empat duduk berhadapan yang tersedia di dekatnya, ia masih duduk sendiri.

Besar harapan Ihya jika dirinya akan tetap duduk sendiri sampai di Lempuyangan. Lumayan, bayar satu tapi dapat fasilitas empat. Namun baru beberapa detik sejak harapan itu dirapalkan, terpaksa harapan itu harus pupus saat Ihya melihat kedatangan seorang perempuan yang menarik koper biru muda ke tempatnya. Walaupun sedikit kecewa, hal itu tak menghilangkan insting Ihya sebagai seorang laki-laki.

"Mau saya bantu?"

Glek

Baru saja Ihya berinisiatif menawarkan bantuan untuk menaikkan koper perempuan itu, tapi koper itu lebih dulu berada di tempat yang seharusnya. Ya, tanpa bantuan Ihya tentunya. Tidak perlu bertanya lagi bagaimana perasaan Ihya saat itu. Tentu saja ia merasa sangat malu. Ihya merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak menawarkan bantuan saja tadi.

"Eh udah kok. Makasih atas tawarannya," ucap perempuan itu sembari tersenyum kikuk.

Ihya hanya menanggapinya dengan anggukan. Kemudian keduanya sama-sama menempatkan diri ke tempat duduk yang sesuai dengan tiket masing-masing. Sialnya, tempat duduk yang mereka pesan ternyata saling berhadapan. Benar-benar membuat keduanya merasa canggung.

Setelah kereta berjalan dan matahari sudah sepenuhnya terbenam, hal itu membuat tirai jendela ditutup. Ihya tak lagi bisa menatap pemandangan luar demi menghindari tatapan dengan perempuan di hadapannya. Ia bimbang. Haruskah ia memecah kecanggungan ini?

"Turun di stasiun mana?" tanya Ihya mulai memberanikan diri.

Tampak perempuan itu yang sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari Ihya. "Lempuyangan," jawab perempuan itu setelah menyimpan ponsel yang tadi dimainkannya ke dalam tas.

Dalam hati Ihya merasa sedikit lega karena pertanyaannya mendapat respon yang baik dari perempuan itu. "Sama. Saya juga turun di Lempuyangan," balas Ihya yang kemudian menciptakan suasana hening diantara keduanya.

Beberapa detik menunggu dan tak kunjung ada pertanyaan balasan dari perempuan itu membuat bibir Ihya gatal untuk memecah kembali kecanggungan. "Ke Jogja karena emang orang asli sana atau mau merantau buat kerja atau kuliah?"

Perempuan itu terlihat berpikir sejenak sebelum membuka suara. Membuat Ihya berpikir apakah pertanyaan yang diajukannya terlalu menyentuh ranah privasi. "Saya bukan orang asli sana. Cuma merantau buat kuliah aja," jawab perempuan itu pada akhirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PausTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang