Tujuh

10 1 0
                                    

"Kalau kata lagu lyla aku gak mau jadi mataharimu, tapi kalau kata aku, aku mau membahagiakanmu seumur hidupku."
Arsen Bumi Bagas Permana

......

"Aa, makasih ya udah bantuin Bapak Lika!!" Dalika Raisa memeluk kakak iparnya erat. Siswi kelas 2 SMA itu sangat berterimakasih pada kakak iparnya yang menolong bapaknya. "Aku gak tahu nasib Bapak gimana kalau gak ada Aa sama sahabat Aa!!"

Bumi tersenyum, menepuk kepala adik iparnya yang memeluknya. "Sama sama. Udah kewajiban Aa membantu Bapak. Bapak udah gapapa oke? Kamu jangan nangis terus..." Lika mengangguk. Mengurai pelukannya. Mengusap matanya yang memerah. Dari tadi saat menerima kabar bapaknya dibawa kekantor polisi memang Lika terus menangis.

Utami-ibu Luka membawa nampan berisiskan air teh dan cemilan. Utami suguhkan pada menantunya. "Diminum nak Bumk."

"Terimakasih, Bu." Utami mengangguk, Bumi meminum air teh buatan mertunya.

"Bang, Teh Luka baik baik saja kan? Kok Teteh gak ikut kesini...." Azran, adik bungsu Luka bertanya. Anak lelaki berumur 14 tahun itu celingak celingukan mencari kakak tertuanya. Bumi mengusap rambut Azran. "Abang gak ngasih tahu kejadian ini sama teteh kamu. Teteh kamu lagi sakit. Abang takut teteh kamu kenapa napa saat tahu kejadian yang menimpa Bapak. Maaf Pak, Bu, aku gak ngasih tahu Luka."

Pak Jaelani tersenyum menepuk bahu menantunya. "Itu lebih baik, Nak. Tidak perlu dikasih tahu kalau bisa jangan sampai Luka tahu kejadian ini. Bapak gak mau Luka sedih."

"Teteh sakit apa emang, A?" Tanya Lika.

"Dari pagi mual mual. Katanya kepalanya pusing. Udah beberapa hari Luka sering jatuh sakit."

Utami tersenyum atas perkataan menantunya. Ibu dari tiga anak itu pikirannya sudah menerka apa yang terjadi pada anak pertamanya. "Kamu sudah bawa kerumah sakit?"

"Luka nolak buat dibawa kerumah sakit, udah aku paksa juga. Katanya gak perlu dia baik baik saja. Kata6 cuman masuk angin. Diajak kerumah sakit malah minta di kerik," Utami, pak Jaelnai, Lika, dan Azran terkekeh mendengar cerita dari Bumi.

"Memang, anak satu itu kalau sakit susah diajak berobat. Pasti bilangnya gapapa. Susah juga buat minum obat. Kalau sakit pasti harus di kerik, udah kebiasaan itu... malah kalau dibawa kerumah sakit atau puskesmas sakitnya bakal makin parah."

"Tapi pas dikerik gak mau diem kayak cacing kepanasan..." Lika mencibik dengan kebiasaan kakaknya itu.

Bumi sudah sangat dekat dengan keluarga Luka. Keluarga Luka memang dari dulu sangat terbuka padanya dan selalu membukkan pintu dan tangan padanya. Bumi bersyukur mendapatkan mertua yang sayang padanya. Dan Bumi bersyukur istrinya mendapatkan keluarga yang cemara dan bahagia itu.

Mereka tertawa. Utami dan Lika masak, Bumi dan Pak Jaelani mengobrol sambil minum kopi sesekali Azran ikut nimbrung. Rama makan dulu disana sebelum pulang. Banyak obrolan tentang Luka antara pak Jaelani dengan Bumk. Berkala kali Bumi tertawa saat mendengar  cerita tentang istrinya dari pak Jaelani.

Hingga pada sore hari Bumi berpamitan untuk pulang. Istrinya sudah sangat rewel dan keluarga Luka memaklumi. Wejangan sebelum pulang Bumi terima dari ibu dan bapak mertunya.

....

"Babe...." Bumi berlari menaiki tangga. Hari sudah gelap. Kondisi rumahnya sangat sepi. Rasa was was dan takut menyelimuti hati Bumi. Bumi takut istrinya kenapa napa. Juga... ponsel istrinya tidak aktif. Terakhir aktif tadi sore.

Bumi membuka pintu kamar dengan perlahan. Mendekati tempat tidur, dan bernapas lega saat istrinya itu meringkuk ditempat tidur.  Bumj mendekat, duduk disamping Luka. Tersenyum melihat wajah polos istrinya yang menutup mata. Tangan Bumi mengusap halus pipi Luka, mengecek suhu tubuhnya. Sykurlah sudah tidak sepanas tadi pagi. Tidak ingin menganggu, Bumi jauhkan pelan tangannya.

BUMIDALUKA [Kebahagiaan Dalam Mimpi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang