03

198 47 4
                                    

Pertemuan pertama, cukup jelas Jeno terlihat tertarik pada Renjun. Pertemuan kedua, Renjun bisa yakin kalau Jeno tidak akan menculik dirinya.

Pada pertemuan ketiga, Jeno mengajaknya makan malam bersama di daerah Yeouido (kencan!) tapi Renjun dengan cermat menolak. Sesuai playbook Renjun lihai bermain tarik ulur, membuat dirinya makin misterius, makin menarik, hingga Jeno datang kembali dengan senyum polos serupa anak anjingnya mengetuk double door Midnight Serenade.

Kali keempat Jeno muncul di midnight serenade, Renjun memutuskan mencoba peruntungan.  Biasanya kalangan elit ini cukup old school, perlu pendekatan dan berkenalan lebih lanjut lewat jamuan makan malam istimewa. Tapi, kalau suasananya tepat, Renjun akan mencuri kesempatan melancarkan fase 2: berciuman. Ciuman adalah kontak fisik yang paling menggairahkan antara sepasang kekasih. Bagi siren: langkah awal untuk membuat mangsa semakin tergila-gila.

Hari ini hari baik untuk Aries —tanggalan, horoskop, primbon sekalipun—bahkan kompatibilitas Aries dengan Taurus yang terbaik di tanggal 23 yang cerah ini! Apalah kalau semua ini bukan tanda dari Semesta kepada Renjun untuk “take a chance!”

Jeno dan Renjun tengah bersenda gurau ditemani welcome drink di tangan, soda untuk Jeno. Empat kali bertemu Jeno, Renjun belajar mereka paling nyambung kalau membicarakan hal-hal receh. Jeno ternyata cocok meladeni celotehan random Renjun. Di dalam dunia asik sendiri milik mereka berdua, di situ pula Renjun membuat Jeno mudah mencair.

Renjun sedang bercerita soal kejadian bersepeda bersama temannya (teman kos, bukan siren), Jisung. Jisung walaupun tingginya 180 km tapi hatinya serapuh gula kapas. Dulu sekali saat Jisung baru mulai belajar naik sepeda di pinggir Sungai Han, seorang pengendara tak sabaran mengumpat pada Jisung. Tentu Renjun yang mengikut bersamanya tidak bisa tinggal diam.

“Jadi aku teriakin balik, kurang ajar! Emang jalanan ini punya bapak lo?” kata Renjun memperagakan gaya dulu dia membela Jisung, sebelah tangan seolah mencengkram stang sepeda, sebelah tangan lagi diacungkan menuding ke udara galak.

Renjun terlalu seru bermain pantomim, seketika dia lupa kalau seharusnya dia siren penggoda. Dengan pipi memerah, Renjun perlahan kembali duduk, pura-pura berdehem untuk menyembunyikan wajah karena malu.

Renjun berdoa image siren elegan dan seksi nya belum luntur; amit-amit lagi kalau membuat illfeel, secara Jeno cuma diam seribu bahasa selama Renjun berceloteh. Tapi sungguh, Jeno tidak terlihat terganggu, kasmaran malah, seolah-olah umpatan Renjun adalah paduan suara surgawi nan merdu. Renjun sendiri kaget kalau-kalau nyanyian nya seampuh itu.

Menopang wajah di sebelah tangan, Lee Jeno kini sedang hilang diantara mata berkilauan Renjun—menatapnya lekat-lekat seolah takkan bosan berdiam begitu ribuan tahun lamanya.

Semakin salah tingkah, rona di apel pipi Renjun kian menyala, “A-aku hanya tidak bisa menerima perilaku semena-mena.”

Kala kecanggungan Renjun mereda, sesungguhnya suasana di antara mereka berdua amat tepat. Nada jazz sultry bermain, ditemani remang-remang lampu kuning, Renjun yang masih panas memburu serta Jeno yang terlihat luar biasa tampan hari ini—mengenakan jas hitam polos dibuka kancingnya dan kemeja gelap senada.

Dengan hati-hati, jari Renjun meniti lengan Jeno, sentuhan halus dan sensual. Mata bening Renjun menatap memohon pada Jeno,  “Jeno, bagaimana kalau, kita… Mencoba yang lain.

Jeno menaikkan sebelah alisnya, wajah tampannya terlihat setengah usil setengah penasaran, meskipun kelembutan sedari awal Renjun berceloteh tak pernah meninggalkan ekspresi, “Coba apa? I don't do drugs.”

“Bukan,” jawab Renjun sambil tersenyum dan menuntun jarinya menggenggam tangan Jeno, “kamu tidak suka keramaian kan, yuk kita cari tempat sepi.”

___


Renjun membawa Jeno ke dalam listening booth—nama kerennya. Sebuah ruangan kedap suara serupa recording booth, di dalamnya terdapat loveseat, meja pendek, dan gramophone  antik,  serta koleksi vinyl jazz digantung di dinding—terlalu sedikit untuk bisa dibilang koleksi. Tentu, sebab alih-alih mendengarkan musik, ruangan-ruangan kecil  ini lebih diperuntukkan sebagai bilik privat untuk siren menjamu tamu-tamu incaran mereka.

La vie en rose berkumandang dari horn keemasan gramophone. Renjun berasumsi Jeno menyukai lagu pilihannya juga, sebab dia terlihat menikmati—duduk manis mendengarkan tanpa sepatah komentar.

Renjun bersandar memandangi Jeno seolah bintang-bintang turun hinggap pada profil samping sang manusia. Sungguh Renjun takkan bosan mengagumi ciptaan Ibu Pertiwi. Urusan bisnis atau bukan, siren maupun manusia pasti berhenti mengagumi Jeno, terlebih ketika hati Jeno begitu baik. Tanpa terasa tangan Renjun terangkat membelai rambut Jeno. Jeno tidak menolak, membiarkan tangan Renjun dengan lembut mengusap dirinya.

Renjun meyakinkan diri makhluk seperti Jeno memang lahir untuk dicintai—wajar hati akan goyah dan jantung berdentum lebih cepat di hadapan mahakarya Dewata. Keberanian meruap dalam diri Renjun, segala kabut keraguan akan perasaanya sendiri tersingkir kala Renjun memojokkan Jeno ke atas sofa. Seraya ia memanjat ke pangkuan Jeno, Renjun bisa dengar detak jantung Jeno yang mulai meningkat, bentuk jakun nya prominen ketika ia menelan ludah.

Renjun mengalungkan lengannya di sekitar leher Jeno, menghirup aroma maskulin yang menguar dari sisi tengkuknya, sebelum kembali beradu tatap, ibu jari mengusap pipi Jeno, turun ke leher hingga dada.

Ia bisa merasakan refleks gentleman Jeno menopang punggungnya supaya dia tidak jatuh, membuat Renjun dengan berani meletakkan dengkulnya di antara kedua paha terbuka Jeno. Renjun merayap menegakkan badan, bernyanyi dekat di telinga Jeno, “Tak usah pikirkan yang lain kecuali aku, Lee Jeno.

Renjun melepas pegangannya dari leher Jeno dengan senyuman tipis yang puas. Tapi begitu mengherankan, detak jantung Jeno malah melambat. Belum sempat Renjun bingung, Renjun menemukan dirinya didudukkan di atas sofa, Jeno nya sendiri tiba-tiba sudah berlutut di lantai.

“Hati-hati, Renjun.” ujar Jeno, menyelamatkan botol yang nyaris tumpah. Mau seberapa gugupnya Jeno, ia lebih khawatir akan keselamatan Renjun; khawatir laki-laki manis menyenangkan yang ingin ia kenal lebih lanjut ini terlalu mabuk setelah menenggak long island iced tea yang jadi minuman pembuka. Sepatu Renjun hampir menyenggol botol whiskey ratusan ribu won yang ternyata disuguhkan di listening booth.

Lagi-lagi sebelum Renjun selesai menata pikiran, dia merasakan tangan Jeno menyentuh pahanya—besar, hangat,  setruman listrik menjalar dari kontak fisik yang terasa begitu intim, terlebih selama ini Jeno menatap mata Renjun lurus lekat, penuh perasaan.

Deg, deg, deg—darah memompa cepat, pipi memerah, kok malah jantung Renjun yang berdegup kencang?

Rasanya ada sirine merah timbul-padam dan berbunyi berisik di kepala Renjun kala sang siren semakin tak bisa mengendalikan detak jantungnya. Tentu ini bukan sentuhan fisik pertama mereka, tapi Renjun yakin tensi nadinya sudah jauh menembus batas normal kala ibu jari Jeno mengusap tangannya lembut.

Dibawah temaram lampu Jeno meraih tangan Renjun, memegangnya erat, “Aku mau mengajakmu kencan dulu, bolehkah?”

___

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang