09

202 40 13
                                    

Sinar matahari menembus jendela, membangunkan Renjun ke dalam lingkungan yang terasa asing. Meja kayu minimalis, gaming chair berwarna mencolok, lemari lipat sederhana dan sebuah sepeda gunung tergantung di dinding.

Serta sebuah tangan berotot berbarik melingkari pinggulnya.

Ah, benar, kemarin Renjun tidur dengan Jeno.

Jeno sempat bilang sesuatu soal ramen, tapi tentu ramen sama sekali tidak terlibat.  Malam kemarin mungkin malam terpanas yang Renjun pernah alami dalam karier barunya sebagai hunter siren.

Renjun merenggangkan badannya. Untung saja bangsa siren memang cukup tahan banting, padahal merah keunguan mekar di leher, tangan, paha Renjun—nyaris sekujur tubuh. Pelakunya seolah tanpa dosa, tidur melewati pagi mendusal pada Renjun. Renjun membelai rambut Jeno, biar begitu ia tak tega membangunkan wajah tertidur yang sangat damai.

Berbekal wajah pulas Jeno, tak ada salahnya Renjun melihat-lihat apartemen Jeno duluan. Renjun mengamati betapa minimalisnya ruang kamar tersebut, hampir semua barang tertata rapi. Kemarin mereka berdua begitu dikuasai nafsu, Renjun sampai tidak sempat berkeliling dengan baik. Sekarang di bawah matahari terang semua bisa lihat hampir semua warna benda kepunyaan Jeno senada abu-abu atau coklat—tak ada bumbu sama sekali. Renjun terkekeh pelan, Jeno tidak bohong mengaku orang yang membosankan.

Perhatian Renjun tertuju pada secarik amplop di meja kerja Jeno, isinya mengintip sebagian. Renjun tidak berniat membaca tanpa izin, tapi di bawah kuatnya sinar matahari seluruh konten surat tersebut terpampang jelas—sesuatu tentang donasi dengan nama Jeno tertera dalamnya.

“Renjunnie, pagi…” derau Jeno, menyusup memeluk Renjun dari belakang. Hidung mancungnya Jeno kubur pada perpotongan leher Renjun, tanpa ragu mengecup kulit telanjang. Renjun berusaha keras menghiraukan betapa berat dan seksi suara sang manusia di pagi hari.

“Jen, kalau boleh tahu, apa ini?” tanya Renjun, senantiasa berbalik untuk menghadap Jeno, menyisakan rengkuhan lengan Jeno melingkari pinggang ramping.

“Ah, ini ya. Trust fund ku cair tahun lalu, jadi aku berniat berdonasi untuk anak-anak.”

“Hebat, gimana ini?” ucap Renjun, seraya ia menunduk menginspeksi amplop di tangan. Pada amplop tersebut tercetak gambar kartun anak-anak bergandengan tangan diatas nama institusi pengampunya.

“Huh?”

Renjun menegakkan badan, menghadap Jeno, “Gantengku yang hatinya seperti malaikat, aku mau dengar tentang donasi kamu. Boleh tolong jelaskan padaku?”

Wajah Jeno merah total mendengar pujian Renjun, namun dengan cepat ia pulih, “Aku mendaftar menjadi penyumbang dana abadi untuk Little Children Fund. Karena surat ini sudah sampai, berarti aku sudah diterima menjadi donatur, Junnie.”

“Aku pikir ini lebih baik. Karena internasional jadi bisa membantu secara luas, mau dimanapun anaknya.” akhir Jeno.

Ketukan kecil  mendobrak pintu hati Renjun, pelan-pelan, tapi pasti, secercah cahaya hangat seolah membilas dirinya; betapa murni dan baik, rasanya Renjun jatuh hati untuk yang keberapa kali.

Tapi keingintahuan siren adalah senjata yang tak kalah tajam yang sering kali menguasai,

“Ah, tidak berpengaruh kah? Untuk cash flow mu? Maksudku dana abadi tidak bisa diambil, kan.” lanjut Renjun.

“Iya, sudah dihitung sama financial advisor ku kok.”

Tanpa ditanya, Jeno membeberkan rancangan portfolio miliknya. Sebagian besar simpanan Jeno sudah diendapkan di obligasi negara: bunganya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pekerjaan Jeno juga stabil, semua keinginan bisa terpenuhi dari situ.

Dalam benak Jeno, ia mau meyakinkan Renjun kalau keuangannya aman. Tabungan dan investasinya tidak banyak, tapi cukup. Jeno masih percaya, dengan gaya hidup yang dibangunnya sekarang, keputusan finansial Jeno bisa menghidupi dua orang baik-baik saja.

Jadi Jeno berani mengambil keputusan yang agak drastis dengan uang warisan itu, “Ya, lebih dari 80% lah untuk donasi.”

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang