08

187 36 2
                                    


Lampu disko menyorot ruangan biru keunguan; seolah-olah itu di bawah laut. Di tengah lantai, berdiri panggung merah dengan lampu-lampu besar, seorang penyanyi muda bergelimang mutiara dan kerlap-kerlip menyanyikan lagu disko pop penuh semangat.

“Gimana, bagus gak suaranya, Jen?” tanya Renjun diantara kerasnya suara dari sound system.

“Huh? Ah-oh, iya.” jawab Jeno gugup, Renjun kira ia tersedak es batu. “asik ya, Love Dive.”

“Eh, belum nyanyi Love Dive dia.” balas Renjun, menaikkan sebelah alis. Wajar Jeno tidak tahu sih, soalnya Renjun yang mengajak Jeno ke 258 Club, beralasan Vicky Jang, seorang artis terkenal, sedang manggung.

Renjun menenggak gelas cocktailnya sampai habis. Kuku berkilau nya memantulkan cahaya lampu kuning dari atas bar. Wajah Renjun sudah lumayan merah, lebih dari empat gelas dia tandaskan, Jeno sendiri terlihat sudah hangat dan nyaman—timing sudah terlihat baik bagi Renjun.

“Jeno, turun kebawah yuk.” ajak Renjun, menarik tangan Jeno, membawa mereka ke area bawah tanah dari klub.

Lantai bawah klub 258 adalah lantai dansa yang liar. Samar-samar dendang After Like masih terdengar, tapi sejatinya riung manusia yang memadati diskotik ini tak lagi peduli; fokus dengan gairah masing-masing untuk saling menyentuh.

Di bawah temaram rembulan, menerobos jendela sisik keperakan Renjun bersinar. Alasan sebenarnya mereka clubbing adalah Renjun akan melancarkan fase 3: tidur dengan Jeno. Ikatan seksual adalah satu langkah terakhir sebelum siren bisa memperdaya mangsa seutuhnya.

Ahh panas sekali disini,” goda Renjun seraya ia membuka kancing kemeja tipisnya hingga ke pusat dada.

Di pinggir lantai dansa, celotehan Renjun bagai racauan biasa pelanggan mabuk, tapi sejatinya itu lantunan nyanyian: merdu, telak, dan mematikan.

Benar saja dari ekor matanya Renjun bisa lihat dua-tiga pemuda sempoyongan menyerupai zombie berjalan ke arahnya. Mata kosong, kepala berkabut tak berakal, seperti serangga tersihir jerat rayuan bunga. Terlebih dari itu, keampuhan nyanyian Renjun terbukti, dari bagaimana Jeno bereaksi nomor satu di antara semua bedebah bodoh di klub tersebut.

Sepersekian detik Jeno langsung memojokkan Renjun ke dinding. Bahu lebarnya mengungkung Renjun hingga bayangan gelap meliputi, nafas Jeno memburu cemburu berpilin dengan harum parfum yang Jeno kenakan memenuhi spasia intim di antara mereka.

Selama ini semua masih berjalan sesuai playbook—inilah strategi kebanggaan Renjun. Renjun suka memamerkan betapa jitu nyanyian nya, dengan memanggil tak hanya target incarannya tapi semua mangsa di perimeter. Itu arogansi siren tingkat tinggi. Tapi pamer bukan objektif utama Renjun hari ini, melainkan jaminan. Resonansi dengan mangsa lain akan memaksa target untuk mengeliminasi kompetitornya, mengukuhkan efek nyanyian Renjun pada target utama:Jeno.

Namun, seringai di wajah Renjun dengan cepat jatuh ketika Jeno meraup bibir Renjun dalam ciuman yang lapar. Jari-jari panjang Jeno merengkuh wajah Renjun, nafasnya menggelitik kulit, sentuhan panas membara—mengejutkan sang siren.

Jeno biasanya lemah lembut, akan tetapi di momen ini dia begitu rakus; merenggut seluruh udara dari paru-paru Renjun, seolah hidupnya bergantung di situ. Tangan Jeno tergesa, genggamannya pada pinggang Renjun terasa putus asa, tapi bibirnya tamak mengumpulkan setiap bagian Renjun hanya untuk dirinya.

“Ah— Jeno,” erang Renjun, kepalan tangannya menghantam dada bidang Jeno. Lutut Renjun terancam menyerah, dia tidak menyangka Jeno sepandai ini bercumbu, sungguh diluar prediksi Renjun hampir terbuai godaan gairah jika Jeno tak kunjung melepasnya.

Alangkah mengejutkan, kedua mata Jeno menatap Renjun balik dalam-dalam; seolah ada hal berat yang tersimpan. Alis tebal Jeno dirajut menjadi satu, dan ada cebik samar pada bibir tipisnya, bahkan di bawah temaram disko bawah tanah wajah Jeno terlihat begitu merah.
 
“Renjun,” panggil Jeno lembut, membelai pipi Renjun hati-hati, “apakah kamu mabuk?”

Renjun berkedip sekali dua kali, “Huh, tidak.”

“—kurasa.” tambah Renjun mengingat dia berlagak mabuk sebelumnya, tapi sungguh jumlah yang mereka sebelumnya minum di bar jauh di bawah batas toleransi siren.

“Um…” perlahan Jeno menutup kemeja Renjun lalu membawa tangannya turun menggenggam tangan Renjun. Tangan mereka berdua terlihat serasi, sama dengan semburat merah terlihat betah bercokol di atas ujung telinga Jeno. Jeno terdengar malu-malu ketika mengatakannya, memainkan rambut dan tidak berani menatap Renjun, “mau makan ramen di apartemenku?”

Sungguh, bisa ada manusia dewasa— yang katanya makhluk kejam dan kalkulatif—dengan perangai semanis ini. Jantung Renjun berdegup kencang, pipinya memerah diluar kendali; ini bukan pertama kalinya Jeno berefek demikian pada sang siren yang masih denial kalau resolusinya makin goyah hari demi hari.

Senyum nakal bermain di bibir Renjun. Kemana pria jantan yang menciumnya tiba-tiba tadi, kini bertindak malu sambil menanyakan consent. Renjun melompat ke dalam pelukan Jeno, mengalungkan tangannya di belakang leher kuat sang pegiat triathlon.

Renjun memastikan ia menempel sedekat mungkin pada Jeno ketika ia berbisik, Tentu, sayangku. Malam ini aku milikmu.”

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang