10

180 39 0
                                    

Setelah dua hari tanpa tidur, Renjun berakhir mendobrak pintu ruang kerja Doyoung di Midnight Serenade, “Doyoung-hyung!”

“Renjun? Mana mangsa tampanmu?” tanya Doyoung, sang empunya ruangan, sudah siap pulang dengan mantel bulu di lengan dan tas lambskin desainer di atas meja. “Kalau tidak ada apa-apa, kita ngobrol minggu depan sesuai jadwal ya. Aku mau pulang cepat nih—”

“Doyoung-hyung, lima belas menit saja? Aku janji gak akan lebih.” rengek Renjun, mencengkram ujung lengan baju Doyoung putus asa.

Melihat mata berkaca-kaca Renjun, Doyoung menghela nafas terkalahkan.

Kalau sudah begini, orang tidak berhati mana yang tega meninggalkan Renjun. Puppy eyes bersinar itu sungguh senjata ampuh tiada dua.

___

“Cara untuk memutar balik efek nyanyian?” tanya Doyoung, mengangkat sebelah alis tajam.

Renjun mengangguk lemah.

Mantel mahal Doyoung kembali digantung di belakang pintu, serta kini di antara Renjun dan Doyoung ada kudapan dan asbak antik untuk cerutu milik si siren senior.

Setelah keheningan yang terasa tak berujung, Doyoung menghembus kepulan asap ke udara, membiarkan abu-abu menarik suspensi sebelum melanjutkan,

“Tidak ada.”

“Sekali saja mendengar nyanyian, selamanya pengaruh itu bersarang di kepala si mangsa.” terang Doyoung.

Doyoung melanjutkan, “Nyanyian itu seperti mentega di dalam adonan roti. Mau seberapa banyak tepung yang kamu tambahkan dalam mangkuk, ukuran mentega itu sama—hanya jadi mengecil proporsinya terhadap total berat.”

Pundak Renjun jatuh, membuat dirinya semakin kecil di kursi kayu ruangan Doyoung. Doyoung sempat bingung apa yang Renjun lakukan, kala punggungnya membungkuk seperti ia membentuk bola.

Renjun mengubur wajahnya dalam tangan, “Aku… aku tidak tahu, aku merasa bersalah.”

Dalam lajur pikiran Doyoung, penyesalan siren itu biasanya soal materiil—mungkin Renjun akhirnya mengakui kalau pilihan mangsanya salah dan ada prospek baru yang lebih menguntungkan “Ya sudahlah, kalian tinggal putus hubungan.”

Hati Renjun seolah seberat dua ton, menarik isi perutnya jauh ke bawah tanah, “Putus hubungan?”

Wajah tersenyum Jeno terlintas di benak Renjun. Tipe senyum yang membuat kedua mata Jeno hilang, bibirnya dikulum dan pipinya berkerut polos. Baru memikirkannya saja, Renjun takut setengah mati kehilangan senyum tersebut.

“Ya, betul, lupakan dia. Tinggal tipu dengan nyanyian lalu kau pergi saja. Seharusnya tidak sulit kan, aku paham kok kalau hunter pemula melakukan ini berulang kali.”

Emosi baru yang tak bisa dijelaskan menggelembung dalam lubuk, membakar hati Renjun panas, sampai-sampai nadanya meninggi, “Hyung, kamu tidak mengerti. Aku tidak mau dia makin bodoh!”

Renjun paham benar betapa khatam dan telak nyanyian nya pada Jeno. Baru awal-awal pertemuan saja Jeno sudah takluk pada segala keinginan Renjun. Terlebih, ketika ia mempraktikan resonansi di 285 Club, Jeno yang langsung nyosor adalah bukti konkret keefektifan nyanyian Renjun pada Jeno.

Doyoung mengerjapkan mata, bibirnya sudah terbuka separuh ingin menegur Renjun karena sudah berlaku meledak-ledak. Tapi luapan emosi Renjun tumpah ruah terlebih dahulu seperti letupan lava panas menggebu-gebu.

“Doyoung-hyung, katamu insting siren itu tidak bisa dilawan kan?

"Rumah warisannya jauh di pinggir kota, dekat taman nasional."

"Tiap Minggu capek-capekan pergi hiking subuh buta bersama dia."

"Berdiri di subway pulang sehabis sepedaan sepuluh km karena dia gak punya mobil."

"Aku tidak benci itu semua, hyung." isak Renjun.

Bahkan ketika Renjun tahu uang warisan Jeno sudah nyaris lenyap, tak ada rasa kesal, melainkan hanya sesal sudah memperdaya Jeno dalam muslihat. Tatkala selama ini Jeno hanya memberikan cintanya utuh pada Renjun.

"Hyung, tolong aku. Aku mau berhenti menggunakan nyanyian lagi."

Doyoung memandangi kedua manik biru laut Renjun. Bergetar seperti riak ombak muda menjamah pesisir pantai. Tekad Renjun  kuat seperti karang kehijauan setia memecah lautan—bukan sesuatu yang emosional seperti rapuh getar suaranya.

Mau tak mau Doyoung tersenyum memandang anak didiknya.

“Hm, kalau kamu minta saran soal mengasihani manusia, kamu datang ke siren yang salah.” ujar Doyoung, menggestur Renjun untuk duduk tenang kembali.

Renjun yang masih merah karena malu menelan ludah, menanti jawaban Doyoung selanjutnya. Sungguh Renjun berharap ia tidak kelewatan, apalagi menyinggung Doyoung. Beruntung kepul asap pipa cerutu Doyoung segera memecah keheningan diantara mereka berdua.

Seringai penuh arti merekah di bibir Doyoung, seraya ia mengetuk pipanya di pinggir asbak perlahan,  “Tapi, dari seorang passionate siren kepada passionate siren yang lain, saranku kamu harus jujur.”

“Renjun, sini aku cerita sedikit tentang  insting siren.”

___

Berbekal saran Doyoung, Renjun menemukan dirinya menunggu di depan gedung apartemen Jeno.

“Renjun?” tanya Jeno. Ekspresi Jeno sungguh terlihat seperti anak anjing ditinggal tuannya tiga hari tiga malam. Walaupun badannya memakai suit hitam rapi dan dress shoes yang membuat dia terlihat menawan.

“Aku khawatir sekali, kamu bahkan gak kabarin sudah sampai rumah atau belum.” manyun Jeno.

Tangan Jeno sudah maju untuk menggapai pundak Renjun, tapi di tengah perjalanan Jeno meragu dan berakhir menariknya balik ke sisi tubuh. 

“Jen, kamu ada waktu luang?” tanya Renjun, Jeno sadar wajahnya pucat dan kantung matanya tebal.

Dengan senyum pengertian Jeno menjawab, “Banyak kok, Renjunnie.  Yuk ngopi sebentar  di atas?”

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang