06

176 38 7
                                    

Perlahan keramaian subway terdispersi dalam dua pemberhentian ke depan. Setelah menahan nafas (Sialan pengaruh nyanyian, Jeno bisa lempeng saja sementara Renjun harus menahan salah tingkah brutal sendiri), akhirnya Renjun dan Jeno bisa melalui sisa perjalanan menuju Hannam-dong dengan tenang.

Matahari mulai melembut, langit berubah kuning telur, tak terasa petang mengecup perpotongan puncak gunung.

“I love sunsets.” ucap Renjun, komentar yang otomatis keluar di hadapan pemandangan langit yang begitu indah. Tangan Renjun ia bawa ke atas dahi, menerawang ke nun jauh di sana. Konon Sang Surya adalah jodoh Ibu Bahari, maka biar laut adalah rumah, sesekali leluhur siren Renjun mendambakan permukaan. Keinginan ini mungkin masih diwariskan, hingga damba mengagumi matahari dan singgasana langitnya yang sekarang  dirasakan Renjun terasa setua abad.

Jeno memperhatikan Renjun seksama, matanya yang berkilau memantul keemasan, senyum di bibir ranum, langkah kecilnya yang penuh keingintahuan. Sangat menggemaskan, sekali lagi melembutkan hati Jeno yang sudah lama tidak jatuh cinta.

Tentu saja paras Renjun amat sangat cantik, sampai kata cantik kurang besar untuk menggambarkan betapa diluar nalar keindahan Renjun; dia serupa peri kecil yang melompat keluar dari buku dongeng, tidak nyata. Namun terlepas dari kecantikan fisik, kepribadian Renjun yang membuat Jeno semakin hari semakin jatuh hati.

Banyak yang dirinya kagumi dari Renjun; keberaniannya, keluwesan, betapa menarik dan lembut hatinya. Walaupun banyak juga yang Jeno pahami, berseberangan dengan dirinya yang relatif lunak, Renjun jauh lebih galak, dan keras kepala; walau dia juga sering malu-malu, apalagi bertindak ceroboh. Boleh sebut Jeno bucin,  itu semua hanya membuat Renjun semakin spesial di mata Jeno.

Jeno memimpin jalan mereka keluar dari area stasiun, sedikit mendamba kapan ia bisa menggenggam tangan kecil Renjun semaunya, “Tunggu kita sampai, pemandangan dari balkon lebih bagus dari ini.”

Setelah berjalan kaki sepuluh menit, Jeno dan Renjun mencapai kawasan Hannam-dong, gapura kayu perumahan Jeno menyambut mereka. 

Dari pertama kali melangkah, mata Renjun langsung berbinar-binar. Pohon-pohon besar yang rindang, rumah-rumah kavling yang asri dibangun diatas bukit, cafe-style terrace yang mengingatkan Renjun akan foto-foto liburan Ten dan cemcemannya di Eropa. Memang tidak ada lapangan golf atau sejenisnya, tetapi komplek Jeno menyuguhkan mountain view untuk dinikmati semua pemilik rumah tanpa terkecuali; Rejun sudah pusing membayangkan harga tanah per meter properti di tempat ini.

“Bagus sekali, kelihatannya tinggal disini nyaman banget ya…” komentar Renjun, berbalik ke Jeno seraya angin musim semi bertiup membawa rambutnya menari pelan. Renjun mengatakannya dengan anggun, tapi sejatinya ucapan Renjun punya terjemahan dalam playbook siren: Sarangmu sangat sesuai seleraku, aku boleh sering berkunjung?

Jeno, sesuai profilnya lulusan cemerlang Dartmouth, menangkap kode Renjun, “You’re always welcome!”

Tapi lima menit kemudian, Renjun ingin menarik balik segala sesuatu yang dia ucapkan—dia menarik kesimpulan terlalu cepat!

Renjun berpangku tangan di atas lutut, kepayahan menghirup nafas dalam-dalam, “Berapa jauh lagi sih Jen?”

“Sebentar lagi.” ucap Jeno. Seperti deja vu walau mendorong sepeda dan membawa keranjang Renjun, lagi-lagi Jeno masih terlihat segar dan kinclong seperti ubin masjid.

Ternyata rumah Jeno di titik bukit yang paling tinggi, di puncak tanjakan yang curam nya gila-gilaan itu seharusnya ilegal. Coba Renjun lebih berusaha dulu zaman SMA, kalau jadi tuh sekolah hukum,  Renjun akan tuntut pemerintah Kota Seoul yang meloloskan tanjakan nyaris 90 derajat!

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang