05

183 42 3
                                    

Ternyata ide bersepeda di benak Renjun dan Jeno sejauh kutub utara dan selatan. Ketika Sabtu datang, Jeno muncul dengan gear lengkap dari ujung kepala sampai kaki: helm, scarf-masker, sarung tangan, bahkan kacamata hitam khusus riding. Sementara Renjun muncul dengan blus renda, topi bucket kain, keranjang anyam coquette, dan tas lucu tempat ia membawa taplak tartan senada.

Coba para pembaca bisa melihat kekecewaan Jeno secara langsung, wajahnya sepucat kertas HVS bukti tensi darahnya turun jauh.

Dalam pembelaan sang siren, Renjun memang pernah bercerita ke Jeno soal mengajari Jisung bersepeda, tapi kan dia tidak pernah bilang kalau sepeda yang dia pakai itu sepeda ahjumma berwarna merah muda berhias keranjang rotan! Jadilah sepeda cottagecore itu yang Renjun bawa bertemu Jeno di taman.

“Hmm, bisa sih.” kata Jeno, menginspeksi sepeda Renjun, “Tapi mau pinjam sepedaku saja gak? Supaya kuat menanjak beneran.”

Mendengar kata beneran, Renjun tentu tahu maksud Jeno apa—Jeno serius mau menjadikan Renjun sehat. Renjun memandangi (mengagumi) otot-otot terbentuk pada lengan dan betis Jeno, bukti kalau foto pemandangan gunung di profil Katalk Jeno memang real dia ambil sendiri saat ikut ajang triathlon di pulau Jeju.

Renjun berhasil menyelamatkan diri dengan mengulur waktu. Beruntung Jeno akhirnya setuju kalau hari ini tidak usah bersepeda dulu, melainkan piknik makan siang sambil Renjun mencoba sepeda spare Jeno dirumahnya.

Piknik! Sesuai aspirasi dan keinginan Renjun. Tidak sia-sia Renjun sampai mati-matian menggunakan nyanyian (satu kali saja) demi membujuk Jeno. Renjun harus memperjuangkan pengorbanannya bangun subuh demi menyiapkan bekal dan pernak-pernik keranjang piknik.

“Rumahku udah dekat Taman Nasional, jadi yaa, perjalanan bakal lama.” terang Jeno.

Renjun memutuskan dengan berani melempar umpan, “Tidak masalah, it’s just a 40-minute drive  kan, Jen?” Sepeda Jeno terlihat bagus, harusnya sih dibawa naik mobil. Tapi alangkah terkejutnya Renjun ketika Jeno sigap melipat sepeda itu jadi separuh ukurannya.

“Might take longer than that, kita naik subway soalnya. You see, I sold my car a few months ago.” aku Jeno agak malu-malu.

Pertanyaan Renjun di bab sebelumnya dengan cepat terjawab, soalnya Jeno tidak punya mobil!

Melihat mata Renjun yang terbelalak seperti ikan koki, Jeno jadi merasa harus menjelaskan dirinya, “Tempat tinggalku sekarang warisan kakekku. A beautiful house in Hannam-dong holds precious memories of my dad. Jadi aku belain, kalau naik mobil setiap hari dari situ kurang praktis.”

Sejak awal mereka berkenalan, Renjun sudah menyadari betapa lembut Jeno  membicarakan ayahnya. Di posisi sekarang, Renjun sudah lewat fase maaf-maafan pada Jeno begitu memahami sejak Jeno kuliah tingkat dua, ayahnya sudah tiada akibat kanker. Jeno juga sudah menerima, lebih memilih mengenang ayahnya sebagai sosok yang kuat—sampai akhir dia tetap berjuang mengurus dirinya sendiri, makan dan berjalan tanpa bantuan sebisanya.

Waktu-waktu final ayah Jeno ia habiskan dalam pemulihan di rumah atas nama Jeno, yang Jeno bilang kakeknya bangun di daerah sepi. Kini Renjun mendapat gambaran penuh, dia bisa jelas membayangkan seorang bapak paruh baya menghabiskan hari-harinya di bawah sinar matahari dan kicauan burung-burung. Seorang pejuang menikmati kebahagiaan kecil dalam hidup—betapa sentimental rumah tersebut  mesti bagi Jeno dan keluarga.

Tapi, sisi didikan siren Renjun juga nafsu mendengar wilayah tempat tinggal Jeno, Hannam-dong terkenal sebagai daerah peristirahatan; tempat tinggalnya aktor aktris veteran dan pensiunan pejabat Blue House! Wilayah populer old money sungguhan!

“Gak apa Jen! Sebentar, aku bawa pulang sepedaku ke kosan lalu kita bisa berangkat.” ujar Renjun, melempar senyum manis ke arah Jeno.

Yaudah deh, gak ada masalah soal mobil, mana harga jualnya jatuh terus. Yang penting duit Jeno banyak!

Maka itu Renjun melepaskan pikiran yang tidak-tidak dan tetap optimis sepanjang perjalanan; ditempuh dengan perjalanan subway 40 menit dari stasiun dekat taman ke stasiun terakhir yang dilayani trayek tersebut.

“Hm, kok rame amat, ya Jen.” komentar Renjun. Walaupun mereka berdua berdiri di gerbong sepeda, hari Sabtu ini cukup banyak orang memadati subway. 

“Ini biasa kok, masih normal.” jawab Jeno. Kini mereka berdiri bersebelahan di area sepeda. Jeno meminta Renjun untuk duduk, tapi Renjun memilih menemani sang manusia berdiri, jadi  Jeno bersikeras keranjang Renjun ditaruh di atas lipatan sepedanya saja (Agak berat, bahkan bagi standar Jeno. Jeno jadi bertanya-tanya bom macam apa yang dibawa Renjun di dalam situ. Renjun tidak seharusnya kesulitan seperti ini).

Tak lama setelah Jeno selesai bergumam begitu, tune subway berbunyi dan segerombolan orang mengalir masuk ke dalam gerbong, mendorong Renjun dan Jeno semakin terpojok.

Jeno secara refleks menghadap Renjun, melindunginya dari kerumunan—si siren terjepit antara dada bidang Jeno dan pintu kereta sisi yang tertutup. Sayang sekali, begitu subway berhenti di stasiun berikutnya, semakin banyak orang masuk memadati gerbong tersebut, berdesak-desakkan dan saling mendorong.

Degan sigap Jeno membanting telapak tangannya pada permukaan kaca pintu, menghalangi orang lain ke spasi Renjun—dengan akibat Renjun semakin menempel pada dirinya.

Arah pandang Jeno lurus lekat ke tanda emergency di badan gerbong, namun suaranya lembut bergumam pada Renjun, “Excuse me.”

Dibawah dagu Jeno, Renjun mengangguk kecil, pipinya merona sedikit. Renjun berusaha mencuri pandang pada ekspresi Jeno; nihil, sebab dari bawah dia hanya bisa melihat scarf hitam dan ujung hidung Jeno, namun lengan Jeno yang berada dekat pinggangnya, aroma bersih milik Jeno yang begitu lekat, kedekatan berada dalam lindungan lengannya; sudah cukup menunjukkan betapa Jeno menghargai dan peduli pada Renjun. Dalam rahasia, Renjun menikmati diperlakukan begitu manis oleh Jeno.

Renjun secara mental menepuk dirinya di punggung, tidak sia-sia Ten memecutnya latihan menyanyi di pantai setiap subuh. Renjun masih mengingat sesi olah vokal dari neraka itu seperti terjadi kemarin; Ten menyuruh Renjun bernyanyi sambil berlari, sambil membersihkan sampah di pinggir pantai, sampai menyanyikan lagu EXO di atas treadmill.  Lihat Ten-hyung, efek nyanyian Renjun sukses sekali!

midnight serenade [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang