EPILOG

12 5 0
                                    

“Cut!” Sebuah suara menggema dari seorang sutradara, menghentikan adegan terakhir dalam film berjudul Panggung Pertunjukan. Tepukan tangan meriah menyambut para aktor yang telah bekerja semampu mereka. Gema, dengan mata berkaca-kaca, membantu pria yang tadi terbaring di jalanan. Di sekelilingnya, para pemeran figuran ikut bertepuk tangan, menyambut senyum bahagia Rassya yang akhirnya terbebas dari beban.

Edzhar, dan Nizam memberikan tepuk tangan pada Rassya saat kedua laki-laki itu menghampirinya. “Selamat bro, projek film lo akhirnya selesai,” ucap Edzhar.

“Makasih, ya, kalian udah mau bantu gue.”

“Aman,” jawab Gema, “asal duitnya cair, ya.” Tawa mereka lepas saat mendengar itu, tanpa penolakan Rassya menjawab sambil menepuk pundak Gema.

“Tenang aja kalo itu mah.”

Diselah-selah percakapan mereka, Nizam memberikan apresiasi pada Rassya. “Lo keren banget, sih, Bang,” ucapnya Nizam.

“Hahahaha, lo juga keren, menghayati banget,” goda Rassya membuat tawa mereka pecah.

“Woi, parah gue gak di ajak.” Dari kejauhan, Adam berjalan menghampiri mereka sambil setengah berteriak.

Mereka tertawa, Rassya melambaikan tangannya meminta Adam agar jalan lebih cepat. “Sini!”

Saat mereka tengah berbincang, tiba-tiba seorang pria paruh baya datang menghampiri Rassya. “Eh, bentar, ya.” Rassya mendapat anggukan dari keempat temannya.

“Selamat, ya, Rassya. Kamu berhasil dalam pembuatan film pertama kamu, saya harap film ini bisa dinikmati oleh semua orang.”

Rassya menunduk sambil menahan senyumnya. “Makasih, Pak. Tanpa Bapak, mungkin saya gak akan bisa membuat film ini. Karena film ini project yang Bapak berikan untuk penilaian saya.”

“Sama-sama, semoga sukses, ya, Ras. Kalo gitu saya pamit dulu,” ucap Dosen Rassya.

“Oh, iya, silakan, Pak.” Rassya menunduk saat pria itu pergi.

Kini Rassya kembali menghampiri keempat temannya, laki-laki itu tersenyum sumringah. “Guys! Malam ini, gue mau traktir kalian makan!”

Sorakan bahagia menggema, memenuhi hati mereka dengan kebahagiaan yang murni. Rassya menaruh harapan besar pada filmnya, harapan yang terbungkus dalam tawa dan persahabatan.

◇◇◇

Di restoran all you can eat, aroma daging yang dibakar memenuhi udara, dan di sela-sela gigitan, Nizam membuka percakapan. “Gue penasaran, deh. Kenapa lo buat film kayak gitu? Gue agak kaget pas baca naskahnya, kok lo bisa kepikiran konflik kaya gitu?”

Rassya terkekeh, lalu tiba-tiba ekspresinya berubah datar, mengejutkan yang lain. “Lo penasaran kenapa gue buat film ini? Asal lo tau, ya...”

“Ah, udahlah, gak usah main peran lo lagi,” potong Gema dengan nada sedikit kesal.

“Hahaha, gue bercanda. Sebenernya, gue terinspirasi dari kasus perdagangan narkotika dan wanita malam. Gue pikir, bakal seru kalau dibumbui thriller-misteri, ya gak?” Rassya menaik turunkan alis kanannya.

“Gak, sih. Karena pesannya gak nyampe di gue,” jawab Nizam.

“Ah, anjrit, masa perlu gue perjelas. Padahal pesannya udah jelas banget itu. Kalo sama temen jangan terlalu percaya, kadang, dia di depan kita itu gak nunjukkin sifat aslinya. Walaupun kita ngerasanya udah deket banget sama dia, tapi kan kita kan gak tau, dia aslinya gimana? Bersyukur kalo dia Cuma egois, gampang marah, gak punya pendirian, dari pada munafik.” Rassya menatap satu persatu temannya saat ia menyebutkan sifat-sifat itu.

Adam, yang merasa dituding, berseru. “Bangsat, kenapa pas munafik ngeliatnya ke gue,” ucapnya.

“Lo cocok, sih, Bang, jadi orang munafik.” Nizam tertawa terbahak-bahak setelah mengatakannya. Adam yang kesal langsung menyumpal mulut laki-laki itu dengan selada berisi daging. Nizam tersedak, membuatnya terbatuk-batuk.

“Hemm, kan batuk. Makanya kalo lagi makan jangan ketawa,” kata Adam sambil menggeleng.

“Eh, iya. Kenapa lo bawa-bawa band kita di dalam film lo? Dan kenapa kita dikasih peran-peran itu?” Edzhar yang sudah penasaran dari tadi, langsung menanyakannya pada Rassya, membuat ketiga temannya ikut penasaran.

“Sebenernya, gue bawa-bawa band kita buat mengenang aja, sih. Awal film itu kan bener-bener awal dari terbentuknya band kita, tapi setelah ngerencanain acara kampus itu, gue udah mulai ngarang. Lo penasaran kan, kenapa gue ngasih peran-peran itu ke kalian?” Keempat laki-laki itu mengangguk antusias, mereka menatap Rassya dengan seksama.

“Karena, sifat asli kalian persis kaya di film itu. Cuman ya ada perubahan sifat di tokoh gue dan Bang Adam, gila aja gue kalo sampe ngelakuin itu, dan Bang Adam beneran jadi bandar narkoba. Kan gak mungkin, ya. Ya, kan, Bang?” Rassya menoleh ke arah Adam dengan senyum menyeringai, membuat laki-laki itu tak berekspresi.

“Kenapa diem? Lo gak mungkin beneran jadi bandar narkoba, kan?” ucap Gema sedikit meledek.

“Minimal kalo beneran, bilang-bilang, lah. Biar kita juga dapet duit, BU nih.” Nizam berbicara asal, membuat Adam tersenyum smirk.

“Mau?” tawar Adam.

“Bang?”

Semua orang menatap Adam, mereka meyakinkan ucapan Adam barusan. Ekspresi terkejut mereka, membuat Adam terkekeh. “Hahahaha, gak lah, gila. Bloon banget, ya, pada percaya omongan gue, padahal gue cuma ngasal doang,” ucap Adam.

“Yakin? Gue sempet liat lo di club sambil berdiri celingak-celinguk kaya nyari mangsa, soalnya,” jawab Gema.

“Oh, ya? Yah, ketauan deh penyamaran gue selama ini.” Adam memberikan ekspresi kecewa saat mendengar ucapan Gema, membuat Nizam tersenyum miris, dan kedua laki-laki itu menatap mereka bingung.

“Gila, ya, bercandanya dua tua bangka ini. Jadi takut gue,” ucap Nizam.

“Jangan deket-deket mereka, bisa-bisa lo ikut gesrek.” Tawa mereka mengalir, hangat dalam lingkaran persahabatan yang tak tergoyahkan.

***

Yuhuuu, penutupan yang sangat sederhana tanpa adanya konflik. Gimana? Kalian nyangka gak sih kalo, kalo kejadian ini, sebenernya cuma film wkwkekek. Apapun itu, semoga kalian suka dengan cerita ini. Makasih udah baca dan ikutin cerita ini selama 15 hari! See you in the next story!

Panggung Pertunjukan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang