Bab 4 : Puncak Ketenaran

40 16 44
                                    

Penampilan mereka di tutup dengan sangat memukau, semua orang bersorak ketika mereka turun dari panggung. Kini mereka bertemu dengan pemilik kafe, di area out door kafe. Perbincangan mereka tampak serius. "Gimana kalo kalian, ngeband di sini setiap hari? Saya liat, para pengunjung, senang lho dengan penampilan kalian."

Tawaran itu membuat mata mereka membulat, tidak dengan Gema. "Berapa bayaran yang bakal Om kasih ke kita?" Pertanyaannya menimbulkan tatapan tajam dari keempat temannya.

"Kenapa? Gue kan cuma mau tanya. Waktu adalah uang bro, gak mau gue buang-buang waktu di sini kalo bayarannya kecil."

Edzhar menyikut perut Gema, laki-laki itu menundukkan kepalanya. "Maaf, ya, Om. Temen saya gak sopan," ucap Edzhar.

"Hahaha, gapapa. Bener kata temen kamu, waktu adalah uang. Pokoknya kalian tenang aja, selagi kalian bisa bikin kafe saya ramai, saya siap membayar kalian berapa aja," ucap Pria itu dengan sangat ramah.

"Wih, gila, mantep juga," bisik Nizam pada Adam sambil meringis.

"Makasih, Om, tapi saya gak yakin bisa bikin kafe Om ramai," ucap Edzhar.

"Kita liat saja nanti," jawab pria itu, "jadi gimana? Kalian mau terima tawaran saya?"

Setiap hari, mereka tampil di kafe itu. Bahkan mereka mulai mendapat panggilan untuk tampil di acara-acara, karena penampilan mereka sangat memukau.

Jika ada acara kampus, mereka suka mengisi acara itu dengan lagu Dream, atau lagu-lagu penyanyi lainnya. Mereka semakin dikenal dengan teman-teman kampusnya, bahkan mayoritas mahasiswi jurusan Desain Mode & Busana, mengenal mereka. Tak sungkan-sungkan semua orang menyapa personil Shining Star, ketika berpapasan di jalan.

Mimpi Edzhar menjadi nyata, keinginannya untuk di sukai orang-orang, tercapai. Tapi, ia tetap menjadi Edzhar yang teman-temannya kenal. Laki-laki itu tetap setia kawan, bahkan Edzhar tetap rendah hati dari pada keempat teman-temannya.

***

Edzhar membawa 5 gelas berisi air jeruk, ia menyediakannya untuk keempat teman yang sedang berkumpul di rumahnya. Mereka berempat tampak serius, saat Edzhar datang suara yang semula kecil, menjadi besar.

"Bang, gimana menurut lo, kalo kita ngadain acara musik di kampus? Kita bisa ngundang penyanyi-penyanyi lain, buat tampil juga." Nizam mencoba mendekati Edzhar, terlihat bahwa laki-laki itu tampak antusias. Setelah dipikir-pikir, sepertinya Nizam salah memilih jurusan, seharusnya ia masuk Seni Musik bukan Teater, jika ia menyukai dunia musik.

"Ngundang penyanyi lain, apa gak ngeluarin banyak uang?" tanya Edzhar.

"Ya, kan. Gue udah bilang sama dia, tapi dia masih aja batu. Dapet duit dari mana kali," sahut Gema dengan menggebu-gebu.

"Ya, kan, kita bisa bikin tiketnya itu berbayar, dari uang mereka, kita bisa bayar penyanyi-penyanyi lain." Nizam masih kekeh untuk menjalankan keinginannya.

"Masalahnya, penyanyi lain itu mahal, Nizam. Kita pasti bakal nambah uang buat bayar mereka, gak akan cukup dari hasil penjualan tiket doang." Adam mencoba membuka pikiran adik tingkatnya itu. Sudah berkali-kali diberi tau, ia masih tak paham.

"Yaudah, kita kan punya penghasilan dari manggung di kafe Pantai Sendu, sama panggilan-panggilan manggung lainnya. Itu uang pasti cukup buat nutupin kekurangan uang yang bakal kita keluarin."

Rassya menatap tajam Nizam, ia menghembuskan napasnya. "Sorry, ya. kalo lo mau pake uang hasil kerja keras kita buat acara gak penting itu, gue gak bisa."

Panggung Pertunjukan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang