1.02. Mancing

137 13 4
                                    

Sesuai dugaannya, Wana mendengar semua isi hati orang-orang yang sedang memancing. Dia tutup telinga menggunakan headphone saja masih bisa mendengar suara hati orang-orang, apalagi jika dia tak menggunakan headphonenya. Maka dari itu, rasanya dia sama sekali tak tenang sekarang.

"Ini kapan ya aku kaya?"

"Kira-kira besok jodohku secantik Ariel Tatum ga ya?"

"Semoga dapet ikan banyak, biar bisa makan ikan hari ini."

"Duh cape, pengen beli truk."

Kira-kira seperti itulah suara hati orang-orang yang sedang memancing. Tambah parahnya lagi ada yang menyanyi di dalam hatinya. Suaranya tak merdu sama sekali yang bisa membuat telinga Wana rasanya ingin pecah. Berkali-kali dia tutupi telinganya dengan topi yang dia pakai. Bukan hanya itu, tangannya bahkan tak menyentuh gagang pancingnya dan memilih untuk menutupi telinganya. Gagang pancingnya dia tancapkan begitu saja di tanah, tak peduli dia dapat ikan atau tidak.

Kesalahan terbesar di hidupnya adalah tak membawa headphonenya sama sekali. Maka dari itu, dia berkali-kali memaki dalam hatinya sendiri. Lintang yang melihatnya hanya menghela napasnya, bagaimana pun juga dia tak bisa membantu sama sekali.

Bapak mereka pernah bilang jika kekuatan Wana adalah kekuatan baru yang tak bisa dikontrol sama sekali oleh pemilik kekuatannya. Itu sebabnya sampai sekarang mereka masih memikirkan cara untuk mengontrol kekuatan itu. Untuk sementara alternatif yang digunakan adalah memasang headphone di telinga Wana. Meski itu tak membantu seratus persen, namun dia masih bisa menulikan telinganya dengan nyanyian.

"Kita pulang aja ya? Agak panas." Lintang terlihat mengibas-ngibaskan tangannya ke tubuhnya sendiri. Lagipula dia hanya alasan saja pada Wana.

"Engga deh, kan biar ga bosen. Lagian aku ga papa Mas, tenang." Wana mencoba tersenyum pada Masnya, dia tahu bahwa Lintang sedang berbohong padanya. Malahan tempat mereka memancing berada tepat di bawah pohon. Tempat mereka juga adalah tempat tersejuk, mana mungkin Lintang kepanasan.

"Maaf ya," gumam Lintang. Wana langsung menoleh, dia tahu untuk apa permintaan maaf itu.

"Maaf belum bisa nemuin caranya," ucapnya dalam hati. Wana hanya tersenyum dan menggeleng.

"Emang harusnya aku ga lahir Mas, biar ga ada kekuatan baru ini." Dia menghela napas dan memainkan gagang pancingnya.

Lintang mengernyit mendengar omongan adik bungsunya. Bukan salahnya jika kekuatan baru muncul, lagipula bapak mereka pernah bilang jika munculnya kekuatan baru adalah hal lumrah karena semakin banyaknya anak yang lahir. Contohnya kekuatan Tirta yang bisa berbicara dengan hewan, kekuatan Mas Agat yang juga masih baru muncul dari beberapa generasi lalu, bahkan sebenarnya kekuatan Lintang adalah kekuatan baru yang hanya dimiliki olehnya sendiri.

◇◇◇

Sudah sekitar dua jam mereka duduk memancing. Kini ember mereka sudah penuh dengan ikan-ikan yang cukup besar. Wana tentunya senang dengan hal itu. Rambutnya diusak oleh Lintang karena merasa gemas pada adik bungsunya. Ikan-ikan itu terlihat mengelepar di dalam ember, Wana hanya tersenyum melihatnya. Bukan karena dia adalah psikopat, tetapi karena dia merasa lucu saja melihat ikan-ikan mengelepar.

"Ini nanti enaknya diapain Na?" tanya Lintang yang sedang merapikan alat-alat pancingnya. Sedangkan Wana tetap berjongkok memperhatikan ikan-ikan. Kini dia sedang berpikir hal apa yang harus dia lakukan nanti pada ikan-ikan yang ada di depannya.

"Gimana kalau kita bakar aja Mas? Nanti kita bakar di taman belakang sama Mas yang lain juga."

"Ide bagus itu, nanti kita omongin ke mereka ya?" Adik bungsunya itu mengangguk lalu menutup ember itu dengan tutupnya. Setelahnya ember itu dia naikkan ke jok motor untuk mereka berdua apit.

WIYONO FAMILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang