1.07. Siapa kamu

78 5 0
                                    

"Ada yang mau berhenti ke indomart?" tanya Ian pada adik-adiknya.

"Buat apa?"

"Buat beli jajan? Siapa tahu ada yang laper, soalnya aku denger suara perut keroncongan," kata Ian sembari menoleh ke arah Wana yang memegangi perutnya.

"Bukan suara perutku kok." Hening, tak ada perkataan apapun setelahnya. Semuanya memandang ke arah Wana yang perutnya kini berbunyi kembali.

"Yaudah ayo ke indomart." Wana menghela napasnya setelah mengatakan hal itu.

"Gitu aja ga mau ngaku." Jati menggerutu dan menampilkan dirinya bersedekap dada.

"Woy! Kenapa berhenti?!" Marta meneriaki Ian dan adik-adiknya di depan yang sudah turun dari mobil, dirinya berteriak melalui jendela mobil dengan kepalanya yang sudah keluar dari sana.

"Ada yang laper." Ian menunjuk Wana yang sudah masuk terlebih dahulu ke indomart.

Marta mengangguk, lalu memasukkan kepalanya kembali. "Kenapa Mas?" tanya Arja.

"Wana laper, kalian kalau laper boleh turun buat beli makanan dulu." Semuanya mengangguk dan turun kecuali si Lintang yang sedari tadi memainkan ponselnya.

"Lintang ga turun?" Marta menanyainya lembut, sedari tadi entah mengapa adiknya itu menjadi diam dan sedikit berbeda.

"Kamu demam?" Marta menyentuh dahi Lintang. Sesuai dugaannya, Lintang mengalami demam. Pantas saja sedari tadi adiknya itu menempel padanya.

"Ya Allah Tang."

Marta segera turun dan menghampiri saudara-saudaranya. "Kalian cepetan ya? Lintang demam," kata Marta ngos-ngosan. Memang dia berlari agar cepat sampai ke dalam indomart yang tak terlalu jauh itu.

"Loh? Lintang?" Ian mengambil semuanya dengan cepat, kini semuanya sudah berada di kranjang belanja. Hanya tinggal menunggu di depan kasir untuk membayar.

"Kalian kembali ke mobil ya? Kita lakuin rencana itu besok." Ian mengecek suhu tubuh adiknya itu menggunakan tangan.

Mata Lintang sudah tertutup sempurna, kepalanya terasa pusing. Dirinya hanya bisa mendengar suara-suara saja tanpa tahu siapa yang mengatakannya.

"Ta, ada selimut?"

"Ada, bentar di bagasi." Marta mengambil selimutnya yang berwarna biru di bagasi. Dia lilitkan selimut itu di tubuh Lintang agar si muda tak menggigil kedinginan.

"Ayo kita pulang." Marta menyuruh adik-adiknya kembali ke mobil masing-masing dan memutar arah pulang.

Kini Lintang sudah di gendong di punggung oleh Rike. Memangnya siapa lagi yang kuat menggendong Lintang jika bukan Rike. Mereka semua kini sudah masuk ke dalam rumah. Lintang di bawa ke kamarnya dan di baringkan di kasur.

Ian menempelkan plester demam yang tadi dia beli ke dahi adiknya itu. Kini Lintang sudah tidur, namun badannya masih tetap saja terasa panas. "Lintang cuma demam, kalian boleh balik ke kamar masing-masing." Rike dan Damar yang memang tadi mengantar Lintang ke kamar pun akhirnya keluar.

"Gimana Lintang?" tanya Arja khawatir, setelah kedua adik kembarnya itu keluar dari kamar Lintang.

"Cuma demam, santai aja. Di dalem ada mas Ian sama mas Marta." Damar menjawab sembari menepuk bahu mas-nya.

"Bisa-bisanya di suruh santai. Adikku lagi sakit Dam. Mana bisa santai." Agat terlihat bersedekap dada dan menatap Damar sengit.

"Kan udah di tanganin sama mas Ian sama mas Marta. Jadi santai aja!" ucapnya sedikit keras.

"Ya tetep aja ga bisa Dam!"

"Heh! Bisa diem ga sih? Lintang butuh istirahat, jangan berisik di depan sini. Ayo balik ke kamar masing-masing!" Wira mau tak mau harus meninggikan suara untuk saudara-saudaranya. Memang awalnya mereka terlonjak saat mendengar Wira mengatakan hal itu. Namun akhirnya mereka menuruti perkataan Wira dan masuk ke kamar masing-masing.

WIYONO FAMILYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang