Siapa yang mengirim surat itu pun tak ada yang tahu, sekarang ini semua yang ada di rumah keluarga Wiyono sedang mencari Marta yang tiba-tiba menghilang bagaikan ditelan bumi. Tadinya Marta berpamitan akan pergi untuk berbelanja kebutuhan makanan, karena yang lain sedang sibuk akhirnya dia pergi sendirian ke supermarket.
Sudah sekitar 2 jam mereka mencari, handphone milik Marta juga tak bisa dihubungi. Puluhan kali mereka mencoba menelpon nomor milik Marta. Namun nihil, hanya tulisan 'panggilan tak terjawab' yang sedari tadi muncul.
"Mas Marta masa diculik juga?" celetuk Rike yang di beri geplakan dengan tangan di kepalanya oleh Agat.
"Ngomong yang baik, mas Marta pasti baik-baik aja!" Dirinya mengatakan dengan nada panik dan matanya yang sedikit berkaca-kaca.
"Maaf." Rike mengelus kepalanya dan menunduk.
PRANGG!
Lagi-lagi, sebuah batu bata yang diberi amplop merusak kaca jendela rumah keluarga Wiyono. "Ah ssibal saekkiya!" Rike berteriak, karena batu bata itu mengenai kakinya sendiri.
"Lukaku! Sialan!" Rike mengelus-elus luka di kakinya yang baru sembuh kemarin.
"Dipikir biaya perbaikan kaca murah apa?" Ian menggerutu, dirinya mengambil batu bata tersebut dan menaruhnya di meja. Dirinya juga sama sekali tak membukanya.
"Jangan ada yang buka!" Ian menunjuk batu bata itu.
"Kamu ga papa Rik? Kena pecahan kaca ga?" Ian menghampiri adiknya itu dan mengecek kaki Rike.
"Engga, cuma sakit aja karena kena batu bata." Rike meringis dan mengelus elus lukanya kembali.
"Ayo duduk." Ian membopong Rike, begitupun dengan Agat.
"Gat, coba kamu buka amplop itu." Agat segera mengambil batu bata tersebut dan membuka amplop yang baru dia lepas dari tali yang mengikatnya.
"Fo-foto Rike yang lagi sakit." Keduanya langsung membelalakan mata. Rasanya mereka tak aman meskipun berada di dalam rumah. Lagipula kapan peneror itu masuk ke dalam rumah mereka? Mereka yakin sekali jika tak pernah ada yang membiarkan Rike sendirian di dalam kamar.
"S-siapa? Kenapa bisa dapetin fotoku?" Mata Rike nampak berkaca-kaca. Meskipun dia mempunyai tubuh yang kuat, namun rasa takutnya adalah kelemahan yang Rike punya.
"Aku ga tahu, tapi kenapa dia foto orang yang lagi tidur dalam keadaan sakit?"
"Karena dia ga berani kalau foto saudara kita pas mereka lagi sadar, Gat."
"Sekarang aja Marta juga ga tahu keberadaannya di mana." Ian menghela napasnya.
"Jangan-jangan dugaanku bener, Mas." Keduanya menoleh pada Rike yang terduduk di sofa.
"Semoga engga, Rik." Ian menatap kedua adiknya sendu.
◇◇◇
Kini ke 13 orang tersebut berkumpul di ruang tamu untuk membahas masalah yang terjadi di keluarga mereka. "Aneh ga sih? Sekarang Mas Marta juga ilang? Terus peneror itu juga ngirim foto Mas Lintang sama Mas Rike yang lagi tidur?!" Wana mengeluarkan amarahnya, yang lain kini hanya duduk diam di sofa.
"Bisa jadi peneror itu ada di antara kita,"kata Rike. Beberapa dari mereka langsung menatap ke arah Rike.
"Maksudnya bisa jadi kita?" tanya Agat. Rike mengangguk.
"Ga mungkin lah, gabut po piye jane ki." Jati menimpali.
"Terus foto yang di kirim itu lokasinya di rumah semua!" Rike mendengus.
"Bukan berarti salah satu dari kita Rik!"
"Bisa jadi Mas!"
Wana terduduk diam melihat Rike dan Jati berdebat. Dirinya hanya diam karena sedang mendengarkan suara-suara hati mas mas nya itu. Namun anehnya, dia tak bisa mendengar suara hati milik Wira.
"Ya kalau misalkan ada, tapi siapa Rik?!"
"Mas Wira!" Wana berteriak yang membuat semuanya menoleh padanya, tak terkecuali Wira yang baru saja selesai melamun.
"A-ada apa Na?"
"Kenapa aku ga bisa dengerin suara hati Mas?" tanyanya.
"M-mana Mas tahu. Mas ga mikir apa-apa emang," katanya.
"Kamu pasti bukan Mas Wira." Wana menunjuk Wira yang duduk di sofa.
"Udah-udah, kok jadi nuduh Mas Wira." Agat menengahi mereka agar berhenti.
◇◇◇
Wana dan Damar duduk di sofa sembari menonton film kesukaan mereka. Apalagi memangnya jika bukan film harry potter, sudah hampir ratusan kali mereka menonton film itu bersama-sama di tempat yang sama pula. "Aku yakin kalau yang nerror keluarga kita itu mas Wira." Wana tetap berpegang teguh pada opini nya.
"Emang kamu punya bukti apa Na?" tanya Damar sembari mengunyah snack kentang yang sudah disiapkan sedari tadi.
"Ga ada yang bisa nyembunyiin suara hatinya dari ku. Jadi udah pasti kalau mas Wira yang kita kenal sekarang ini bukan mas Wira," katanya dengan berbisik.
"Aku ga paham apa maksudmu Na, tapi yang jelas Hermione cantik." Mata Damar nampak bersinar setelah mengatakan hal itu. Memang saat itu di film, Hermione sedang memakai gaun merah muda di sana.
"Alah, tapi sama si Krum. Si Krum cuma jago quidditch aja." Wajah Wana terlihat cemberut.
"Alah iri kan?" Damar terlihat menggoda adik bungsunya itu. Anak laki-laki di sebelahnya memutar bola mata. Tentu saja itu membuat mas nya tertawa terbahak-bahak.
"Diem Mas Damar Orin Wiyono," pungkas Wana sembari menatap sini.
"Apaan kamu, masa marah sih?"
"Lagian nyebelin banget sih." Mereka berdua kini terfokus pada film yang ditonton.
"Dasar bodoh kalian."
##
Di akhir bab ini, kira kira siapa sih yang ngomong? Siapa sebenernya yang nerror? Apa bener dari keluarga mereka sendiri? Lagipula mengapa?Di bab ini cukup singkat, aku sebagai penulis cerita ini sedikit bingung akan bagaimana kedepannya. Tapi yang jelas, mungkin sebentar lagi akan ku beri tahu siapa. Apakah benar dugaan milik Wana? Atau malah orang lain?
Vote buat yang kangen cerita absurd ini yaa, jangan lupa ♡ komen juga biar makin seru
KAMU SEDANG MEMBACA
WIYONO FAMILY
RandomApakah dirimu masih percaya pada kekuatan super di zaman modern ini? Bagaimana jika hal itu masih ada sampai sekarang? Mungkin kau akan berkata bahwa itu hal yang kekanak-kanakan bukan? Apa menurutmu seluruh keluarga ini berbohong jika mereka menga...