16. Bersabarlah Bayi Besar

451 61 6
                                    

Jaejoong bangun siang, tidurnya sangat pulas, sepulas beruang hibernasi. Ranjang milik Yunho sangat nyaman, jauh lebih nyaman dibanding ranjang yang dia pakai di lantai 2. Benar-benar licik, si mulut besar itu menyimpan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Jaejoong meregangkan tubuh lalu bangun membuka pintu kamar.

"Demi Tuhan!~ Apa yang kalian lakukan di sini?!"
Jaejoong terkejut melihat 2 sosok tinggi besar berdiri di depan pintu kamar tidurnya. Terlebih lagi, keduanya berpenampilan sangat aneh.

"Bos bilang Brother sedang sakit. Kami disuruh melayanimu sampai dia pulang." Jawab Kiyong dengan nada serius. Kain segitiga terikat di kepalanya, celemek polkadot terpasang di badan, dan sebuah kain lampin tersampir di pundaknya.

"Apa Brother membutuhkan sesuatu?"
Tanya Sungtae. Penampilannya sama anehnya dengan Kiyong. Sangat tidak cocok dengan otot-otot kekar yang mereka miliki.

"Tidak. Minggir. Aku mau minum."

"Siap."
Sangtae langsung berjalan cepat menuju dapur.

"Hei! Aku tidak menyuruhmu---"

"Tenang Brother, tunggu di sini."
Kiyong mengulurkan tangannya menahan Jaejoong.

"Silakan Brother."
Sungtae kembali dengan segelas air putih.

"Kalian ini kenapa?? Aku bisa melakukannya sendiri!"

"Bos menyuruh kami memastikan Brother tidak banyak bergerak."

"Ya Tuhan, aku cuma akan berjalan 10 langkah ke dapur! Biarkan aku lewat! Aku mau jus jeruk, bukan air putih!"

"Akan kubuatkan."

"Tunggu!"

Sungtae berhenti.

"Kau tidak tahu seleraku. Aku harus membuatnya sendiri."

Sungtae dan Kiyong saling berpandangan. Mereka kemudian membungkuk lalu memegangi badan serta kaki Jaejoong.

"Apa yang---! Turunkan aku!"

Sungtae dan Kiyong membopong Jaejoong dan menurunkannya di dapur.

Jaejoong memijit keningnya.
"Kalian tahu? Ini sangat berlebihan.. Tidak perlu sampai seperti ini.. Aku memang tidak boleh banyak beraktivitas, tapi bukan berarti sama sekali tidak boleh bergerak!"

"Kami hanya menjalankan perintah. Daripada terjadi apa-apa lalu kami disalahkan. Hehe."

"Oh Ya Tuhan.."
.
.
.
.
.
Jaejoong benar-benar tidak diijinkan bergerak. Bahkan mengendap ke kamar mandi pun Kiyong dan Sungtae bisa tahu dan langsung membopongnya. Yang bisa dia lakukan hanya duduk manis atau berbaring di sofa sambil mengunyah makanan, mengamati kedua anak rajin yang sedang mengerjakan semua pekerjaan rumah untuknya. Merapikan barang-barang, membersihkan lantai, mengelap perabot, bahkan membereskan sampah dan pakaian kotor.

"Tunggu. Mau dibawa ke mana pakaian-pakaianku??"

Kiyong yang sedang menenteng keranjang baju kotor berhenti berjalan. "Oh, mau kubawa ke pos. Ada mesin cuci yang lebih besar di sana. Akan kucuci bersama dengan pakaian punya bos."

"Kalian mencucikan pakaian miliknya juga?"

"Ya. Bos sangat sibuk, dia selalu meletakkan baju kotornya di pos sebelum pergi untuk kami cuci. Apa ada barang kotor lainya Brother? Aku juga bisa mencuci sepatu atau tas."

"Tidak. Itu saja. Terima kasih."

Kiyong pun pergi membawa semua kotoran dari kamar Yunho. Jaejoong mendengus.
'Brengsek. Pantas saja aku tidak pernah melihatnya mencuci. Dasar rubah licik. Kenapa tidak bilang dari awal kalau bisa titip cucian ke anak-anak? Harus menunggu bayi ini protes dulu baru aku dilayani! Awas kau!'
.
.
.
.
.
Hari sudah gelap, seperti biasa, Yunho pulang larut. Dia masuk ke rumah dalam keadaan remang dan sepi. Itu tidak biasa. Apalagi Jaejoong sudah tinggal bersamanya di lantai 1, keadaan itu sangat aneh menurutnya. Kewaspadaannya pun menyala.

Love. A Weapon to Die, Or A Reason To Live?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang