Oktober

14 2 0
                                    

PROLOG

Kisah ini bermula dari aku yang masih hidup di kepala sendiri, yang isinya hanya seorang kecil yang masih saja memuja-muja kotornya sendiri. Hampir dua tahun berlalu, masih saja dengan yang itu-itu saja. Masih saja dengan hal yang tak dapat diubah sampai kapan pun. Jangankan mengubah, menyentuhnya saja hampir mati berkali-kali.

"Bulan ini aku harus berhasil mengurainya satu-persatu"

Mengurai kotor dan membasuhnya hingga tiada darah yang tersisa. Layaknya seekor anjing yang mengejar tulang dengan bringas, aku juga harus berlaju cepat membereskan ini semua. Biarlah bekas lukanya menetap sampai ada seseorang yang mampu menerimanya dengan tangan terbuka. Namun ku rasa, tiada seorang yang mampu menerima seutuhnya melainkan segerombolan manusia yang turut serta membagikan darahnya untukku sampai menjadi sebuah janin yang sempurna.


1

KU tulis kerangka narasi yang akan ku rilis setiap akhir pekan. Dalam gelapnya ruangan—karena Ibu sudah tidur—aku yang masih sibuk menatap laptop dan menulis sebuah narasi perayaanku akan takdir yang Tuhan beri. Cahaya pun membara dari layar laptop. Disambut suara dari earphone—yang sudah hampir patah setiap segmen kabelnya sehingga tembaganya mulai kasat mata—yang memutar lagu-lagu dari playlist khusus untuk menulis atas perayaan ceritaku yang lugu. Maksud hati memperlancar diksi sekaligus penataan majas yang ku harap menjadi apik, sajak yang dijadikan lagu oleh musisi sekaligus penulis favoritku pun terdengar oleh gendang telingaku yang mulai menuli ketika ada panggilan makan dari Ibu. Lagu-lagu oleh Nadin Amizah dan Banda Neira terisi penuh pada playlist menulisku. Hingga menghasilkan kata yang mulai terbaca indah oleh orang-orang yang berlalu-lalang melihat postingan di media sosialku. Sambil menunggu album kedua Nadin, "Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya" rilis, ku dengar berulang-ulang lagi dari album pertamanya, "Selamat Ulang Tahun". "Taruh" yang manis (namun menyeramkan untuk didengar) dan "Sorak Sorai" yang masih ku sayang dengan sungguh sejak dua tahun berlalu pun mulai memunculkan diksi indah dari kepalaku.

Tibalah pada lagu-lagu Banda Neira tempatku menangis dahulu—tiga bulan awal dalam setahun. "Biru", "Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti", dan "Sampai Jadi Debu", ku sebut mereka bertiga sebagai lagu sakral dan menjadi tokoh utama di dalam sirkus lingkaran setanku terdahulu. Ketikan dari keyboard berisik disambung dengan volume penuh dari earphone—yang memanjang dari lubang laptop sampai daun telinga—membuatku mengkilas balik akan perihal kotorku yang sungguh mematikan aku yang kecil. Kalau bisa ku katakan padanya—aku yang kecil—maka akan ku katakan sepenuhnya padanya ;

Tolong lompat tinggi-tinggi dan lewati jurang yang berisi bulan Januari, Februari hingga Maret 2022. Jangan lupa juga untuk matikan listrik rumahmu dari bulan Januari hingga Maret 2022, agar kotormu tak tercipta di antara 90 hari itu.

Tak dirindukan kehadirannya, air mata luluh begitu saja dan aku terus berharap Ibu tak terbangun sebab mendengar isak tangisku di tengah malam itu.

Mari kita ucapkan selamat datang di bulan Oktober yang dulunya ku benci dengan sungguh.


3

SEPERTI biasa, hari-hari masih selalu diisi perihal menerima atau tidaknya aku yang kecil di hadapan diriku yang sudah tumbuh cukup besar. Bayangan-bayangan yang menjadikanku selalu jauh dari kata 'suci' ku lihat perlahan dan mandalam di sebuah gedung tempat belajar mengajar sampai pukul setengah empat. Bukannya mengelus dada dan berpelukan dengan seribu darah yang teralir di sebulan penuh itu, malah sesegukan tangis yang hadir. Entah manusia kecil mana yang ingin dewasanya tumbuh menjadi manusia yang keji akan diri sendiri.

Puluhan bayangan ku telaah dengan waktu yang tak sesingkat memasak mi instan. Salahku adalah mengasihani diri sendiri. Hari ini ialah hari di mana aku harus cepat-cepat memeluk diri sendiri sebab akan ada satu manusia yang mulutnya jelek ditampar api panas.

Sebuah Mimpi, Kotor, dan Cinta yang DiembannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang