Juni

6 2 0
                                    


17

SEUSAI rencana-rencana telah disusun rapi dalam waktu yang cukup lama, akhirnya kami akan berkumpul kembali setelah rentang waktu yang tidak sampai sebulan. Bersama kawan sewaktu kecil yang sampai hari ini hubungannya masih langgeng 10 tahun. Bulan lalu kami sudah berkelana ke tengah Solo, menikmati hijaunya pepohonan lantas berhenti di sebuah halte depan gedung yang menjulang tinggi. Namun hal itu sudah sering kami lakukan di setiap waktu luang—libur akhir semester misalnya—pasti itu-itu saja rencananya. Kali ini kami berencana berkumpul bersama memanggang tempura, sosis, beserta kawan-kawannya di rumahku dengan peralatan seadanya. Tujuannya supaya lebih panjang waktu berceritanya.

Sebab bahan yang ingin dipanggang tak memadai jumlahnya untuk disantap oleh banyaknya orang seperti kami, kami memutuskan untuk membeli pernak-perniknya dahulu di sore hari—karena rencananya harus sudah siap dipanggang sehabis salat magrib—dengan kawan-kawan perempuanku yang jarak rumahnya tak jauh dariku, berkisar 50 meter. Berkumpul di rumahku—yang hanya dibersihkan ketika ada temu saja—lantas membeli bahan-bahan apa saja yang kurang. Untung saja aku sudah punya alat panggangnya, kalau tidak pasti akan boros di awal. Sisa arang dan tusuk sate saja yang dibutuhkan, lainnya kami hanya perlu membeli beberapa varian frozen food untuk menjadi santapan, juga saus sebagai pelumas, penambah rasa nikmat.

Sebelum semua orang datang, kami para perempuan harus sudah bersiap lebih cepat untuk menyiapkan semuanya. Sisanya, seperti perihal menyalakan api dan memanggang, biar para lelaki yang mengatasinya.

Azan magrib telah terdengar keras sampai telinga. Kami beribadah sejenak sebelum memulai petualangan penangkal rasa rindu. Entah rasa sayang yang bentuknya seperti apa, namun kami selalu menemukan waktunya untuk pergi berkumpul bersama setiap akhir semester.

Masjid sudah tersedia di depan rumah, tinggal memakai alas kaki lantas berjalan sepuluh langkah. Ada yang datang telat karena salat dahulu di rumah masing-masing, ada juga yang baru datang lekas salat di masjid depan rumah. Yang tak beribadah akan mengoleskan saus terlebih dahulu sambil menunggu yang lainnya berkumpul.


Ramai sekali rumahku malam ini. Orang-orang berlalu-lalang ke masjid, merasa keheranan rumah siapa yang malam-malam seperti ini ramai sekali. Hampir dua puluh orang datang. Di sela-sela pemanggangan, kami menumbuhkan ide cemerlang supaya malam ini semakin lekat di hati penghuninya.

"Bagaimana kalau sebagian membeli botol besar minuman?" sebuah ide cemerlang dari kawanku satu ini.

Karena suguhan minum di rumahku sangat minim dan hanya seputar air putih dingin beserta sirup jeruk berwarna jingga kekuningan saja—sisa hari raya kemarin, sebagian dari kami membeli sejumlah minuman bersoda yang ukurannya cukup untuk diteguk sepuluh orang lebih. Beli beberapa kalau bisa. Aku salah satunya—karena aku tuan rumahnya, maka aku juga akan menerangi jalan mereka untuk membeli sejumlah botol minuman bersoda ke minimarket terdekat. Sebagian lelaki akan tinggal sementara di rumahku untuk memanggang.

Malam sudah semakin larut, bukan malah cepat-cepat untuk membeli lantas kembali ke rumah, kami malah keseringan bercanda di sana. Memperlambat waktu. Pasti mereka yang sedang berada di rumah terheran-heran, sudah diusahakan merelakan waktunya untuk memanggang setumpuk bahan makanan malah ditinggal lama begitu saja. Di sana bosan menunggu sambil menikmati panasnya guyuran api yang meraih sampai muka, yang di sini malah sibuk guyonan yang tak kunjung pulang ke rumah. Niatnya membeli minuman bersoda saja, kini malah berniat keliling desa di malam hari. Pasti orang tua mereka marah kalau tahu.

Beberapa botol minuman bersoda sudah tersedia. Warna-warni. Merah, coklat kehitaman, dan putih jernih, diselimuti bulir—tanda kandungan sodanya masih ada. Dituangkannya ke gelas yang sudah ku sediakan sedari mereka datang ke rumah, disterilkan dahulu pakai air panas, baru disajikan di muka—sebab gelas khusus tamu hanya terus bersinggah lama di lemari kaca dengan bingkai kayu jati. Kami menikmati suasana malam hari syahdu ini—sebab masih libur panjang sekolah juga—dengan berbagai candaan yang spontan untuk didengar, juga jepretanku dari kamera jadul yang Bapak beli di pasar loak beberapa waktu lalu.

Sebuah Mimpi, Kotor, dan Cinta yang DiembannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang