September

11 2 0
                                    

9

HARI ini burung berkicau merdu di udara yang perlahan mengabu. Tidurku yang pulas diusik Ibu yang hatinya sedang bergumuruh senang menyambut pagi cerah tanpa awan. Keras kepala, marah, telah bertumbuh menjulurkan akar lebatnya di dalam diriku. Tiadanya ruang terbuka untuk menyampaikan sepatah kata, menjadikan marahku berbuah rasa bersalah terbesar yang sungguh baru ku rasakan seumur hidup.

Surgaku telah membangunkan tidurku dengan lembutnya, penuh senyuman, tawa, dan berhati besar. Tak menyangka anak perempuan satu-satunya ini mengecewakan hatinya yang begitu besar dengan kata kasar sekasar pembunuh yang sibuk menyiksa mangsanya.

Segala tak dipandang indah keluar dari wajahku yang begitu malu di hadapan dunia. Sudah menjadi beban bagi pundak mereka, kini malah mengecewakannya. Kalau bisa didefinisikan, aku ialah manusia paling buruk di hari ini. Paling keji, paling tak beradab, paling tak membutuhkan alasan untuk dibenci dunia, bodoh, biadab, dan cukup memenuhi kriteria untuk mati muda. Aku ialah orangnya, yang tak kan kau kenal.

Pagi yang ramai. Awan tersapu bersih oleh kemarahan yang bergejolak dari seorang yang mimpinya besar akan tetapi nol dalam bersikap. Sebuah ranjang di rumah pedesaan yang tak sepi penduduk, tertakdirkan sepasang ibu dan anak yang sedang berbincang. Ramai di telinga dan berakhir penyesalan. Tangisan dan kekecewaan tumbuh dari kasarnya anak perempuan bungsu satu-satunya. Sebuah kalimat kemarahan yang teramat kasar tertulis dari pensil—yang seharusnya digunakan merayakan hal kecil maupun besar di buku sketsaku. Kelepasan atau alasan bodoh apapun, kalau aku jadi ibu, diriku yang satu ini akan ku benci luar biasa. Dari luar maupun dalam. Akan ku acuhkan sampai akhir hayatku.

"Ya Allah, Nduk, maaf ya ra iso ndidik kowe kaya wong liya. Maaf nek sesuk Ibuk ra iso nguliahke tekan Bandung. Keadaan Bapak Ibukmu yo wis kaya ngene."

"Kowe mesti iri ya, Nduk, ndelok kanca-kancamu iso tumbas opo-opo. Bapak Ibukmu ndelok anake iso maem enak wis bahagia og."

"Kowe yo nek dikandani sinau yo sinau, ojo wegah-wegahan terus. Jare ameh kuliah ning Bandung, yo sinau to, gen sesuk luwih gampang bayare nek nilaimu apik."

"Kowe yo wis reti watake Ibuk kaya ngene, wis bola-bali tak kandani. 'Nduk, nek ana apa-apa ngomong'"

Yang dapat ku lakukan hanya berdiam diri dan menangis dengan hati yang penuh sesal di atas ranjang sambil memohon agar esok bukanlah hari yang di mana aku dan Ibu sama-sama terdiam tanpa kata. Menggeru-geru memohon kalau esok dan selanjutnya Ibu akan terus mengomel kencang demi anaknya yang lebih baik. Di akhir perang singkat akibat bom yang terkubur dalam di dalam diriku, kami memeluk satu sama lain sambil berkata maaf tanpa henti. Pundak kami sama-sama basah. Teralirkan air mata dari dua orang yang saling bertaut.

Entah bom yang ku kubur dalam-dalam akan meledak kapan dan di mana esok nanti, pasti yang menampung adalah kami; aku dan Ibu. Hingga tempat kami menenangkan diri ialah sebuah kamar kecil penampung ribuan tangisan atas perang-perang kecil yang terjadi. Temanya pasti akan berbeda-beda seiring aku tumbuh, akan tetapi, akarnya pasti sama; cerita yang tak berbuah kata dan disimpan sendiri di brankas hati, Tuhan pun tak diizinkan masuk.

"Buk, Pak, jangan hilang dulu dari dunia. Esok, pasti ada waktuku untuk memberikanmu suatu hadiah kecil yang tak seberapa. Entah rumah sederhana untukmu menikmati masa senja, entah sebuah cerita kecil kita yang akan terpampang di muka dunia, atau entah keberhasilan doa-doamu dan doa-doaku yang telah sampai ke langit."


21

BEBERAPA hari lalu, seorang guru seni menawarkanku untuk mengikuti pameran yang akan menghadirkan karya siswa se-Surakarta sebagai bentuk apresiasi seni dan akan ditampilkan di sebuah galeri seni rupa. Berkat keikutsertaanku pada ajang lomba desain grafis lalu, tak heran jika namaku akan ditaruh pada daftar peserta seleksi pameran seni rupa.

Sebuah Mimpi, Kotor, dan Cinta yang DiembannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang