April

11 3 0
                                    


21

HARI ini, hari terakhir berpuasa! Menu hari ini sangat spesial! Harum ketupat sudah berhasil menyentuh ujung hidungku.

Malam ini begitu bersih, sepertinya awan-awan memilih menepi sejenak untuk memberi ruang percikan kembang api menunjukkan indahnya. Meletus di langit gelap, lantas membentuk pancaran cahaya yang mengurai di atas kepala. Anak-anak masjid di perumahan ber-riang gembira menyambut hari raya. Ada yang bertugas mengagungkan nama Allah berucap "Allah Maha Besar!" dengan bantuan mikrofon lantas suaranya mengalir menuju alat pengeras suara dan terpancar keras sampai perumahan sebelah. Ada yang bertugas membagikan jajanan bagi orang yang pergi ke masjid di malam takbiran. Ada juga yang bertugas menyalakan kembang api dengan meriah dan bahagia di lapangan seberang masjid.

Di tengah itu, ada seorang kakek yang terusik akan suara nyaringnya kembang api yang bersiap menegur anak-anak. Suruh siapa tidur di malam hari raya. Malam hari raya harusnya berkumpul di ruang tengah, mengobrol bersama keluarga merencanakan kepergian besok di hari raya.

Aku dan sekeluarga ke rumah paman—karena Mbah ada di sana—sambil menikmati lezatnya nastar buatan ibu.

Malam hari raya, aku akan pergi bersama Ibu untuk membeli bingkisan khas Solo untuk Mbah besok—karena esok, setelah salat Ied dan bermaaf-maafan dengan seluruh tetangga, kami segera bergegas ke rumah paman di kota yang lumayan jauh dari kota Solo dengan mobil yang sudah disiapkan Bapak—di sebuah toko langka yang syukurnya masih beroperasi di malam hari raya. Tak seperti di masa kecil dulu, aku selalu datang ke masjid untuk menjadi salah satu orang yang menyerukan nama Allah. Sekarang, karena sudah menginjak masa remaja, sudah seharusnya anak-anak seperumahan lainnya yang mewarisi suara indah itu.

Sepulangnya dari membeli bingkisan untuk Mbah di kampung halaman, aku sibuk berdebat dengan Bapak, menanyakan kamera jadul yang dijanjikannya akan bisa digunakan besok untuk mengabadikan momen di rumah Paman dengan anaknya yang sudah siap bermain remi denganku, juga di rumah Mbah yang penuh kenangan. Katanya perlu menggunakan baterai yang bisa diisi ulang. Akan tetapi untuk mendapatkan baterai langka saat ini sangat sukar sekali. Sudah malam, toko elektronik lengkap pun sudah tutup karena pemiliknya sibuk menyambut hari raya. Alhasil, berakhir dengan membeli baterai A4 biasa untuk cadangan sementara waktu ini. Syukurlah, kamera jadul yang ku idam-idamkan ini dapat digunakan penuh untuk hari esok.

Malam semakin larut, anak-anak perumahan kami semakin bersemangat menyerukan nama Allah. Biasanya tradisi ini berlangsung sampai keesokan hari sebelum azan subuh. Setelah azan subuh bergemuruh kencang, suara takbir akan datang dari lapangan besar yang biasa digunakan salat Ied untuk satu desa. Kami sekeluarga pun jarang sekali luput perihal kehadiran dari lapangan itu setiap hari raya, Idulfitri maupun Idul Adha.

Ibu berkemas pakaian untuk petualangan sekeluarga menuju rumah Paman. Bukan hanya rumah Paman saja, kami juga akan berpetualangan menjelajahi rumah Mbah yang masih hening dan asri.

Kata Bapak, kami akan mencoba jalan tol baru yang baru saja terselesaikan dan siap beroperasi di hari raya tahun ini. Entah beritanya benar atau tidak, mengingat banyaknya berita tak berlandaskan kenyataan dan dibuat-buat media demi menggaji karyawan.

Aku bersantai ria di pintu teras lantai atas rumah, menikmati es teh manis segar, bersajikan gorengan tak sehat sambil tersenyum mendengar suara takbir yang bervariasi—karena setiap perumahan pasti akan bertakbir layaknya berbalas pantun. Seperti bernostalgia di dalam duniaku sendiri. Itu yang biasa ku lakukan saat menyambut hari besar. Melamun di pintu teras rumah, memandang langit gelap yang terang apabila terpancar petasan, mendengar letusan kembang api, sambil meneguk segelas minuman dan mengunyah santai gorengan buatanku sendiri, atau mengambil setoples kue buatan Ibu. Sangat menyenangkan, di kepala hanya tumbuh kilas balik bulan Ramadan tahun lalu. Sudah seberapa besar aku sekarang. Akankah amalanku di bulan Ramadan ini diterima sepenuhnya. Akankah aku terus menjadi aku yang semangat ibadahnya sama seperti di bulan Ramadan. Entahlah, topik itu akan semakin larut, membuat mata mendatangkan kantuk.

Sebuah Mimpi, Kotor, dan Cinta yang DiembannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang