Pantai dan Malam

16 1 0
                                    

14 Februari, Siang yang cerah di hari Valentine.

Hitoka termangu menatap pemuda jangkung yang berjalan dua langkah di depannya. Ia tidak pernah menyangka hari ini akan datang dalam hidupnya, seseorang akhirnya mengajaknya pergi di hari Valentine.

Tapi apakah hidup begitu kejam? Atau Hitoka yang berharap terlalu tinggi?

Bukan kencan, atau jalan jalan menyenangkan yang ia lakukan hari ini. Melainkan..

"Apa pantainya masih jauh?" Suara pemuda itu membuyarkan lamunan Hitoka.

Furukawa Tsuyoshi, dengan kaus putih yang berbalut kemeja pantai berwarna biru dan celana pendek selutut. Membawa ember dan jaring di tangannya, bertanya pada Hitoka.

"Eh? Uhm. Tidak, pantainya ada di ujung jalan ini" sahut gadis itu.

Hitoka juga tak jauh beda. Ia mengenakan setelan kaus tanpa lengan dan celana pendek juga topi bertepi lebar.

Dibanding kencan hari Valentine, mereka lebih mirip seperti dua orang yang hendak pergi memancing.

Tapi ungkapan itu tak sepenuhnya salah. Mereka memang hendak memancing udang laut dan mencari kerang di perairan dangkal dekat tempat tinggal Hitoka. Airnya sedang surut dan ini waktu yang sempurna untuk berburu binatang laut.

Ini keinginan Tsuyoshi yang tiba tiba muncul saat mereka sedang makan malam di rumah Hayato. Airi bercerita bahwa ayah Hitoka adalah nelayan yang luar biasa dan mereka bertiga pernah pergi bersama untuk memancing udang musim panas tahun lalu.

Karena baik Tsuyoshi maupun Hitoka belum menentukan tempat untuk menghabiskan waktu di hari Valentine, ide itu terucapkan begitu saja, membuat Hitoka terkejut karena pemuda di hadapannya ini memang sangat sulit ditebak.

Namun di satu sisi Hitoka juga lega Tsuyoshi memilih untuk pergi memancing hari ini. Tak terbayang jika ia memilih untuk berkencan, hii membayangkannya saja sudah membuat Hitoka bergidik ngeri.

Deburan ombak mulai terdengar seiring langkah yg membawa mereka semakin dekat dengan bibir pantai. Dari kejauhan Hitoka bisa melihat air laut yang berwarna biru dan cakrawala yang membentang luas.

Hitoka terkagum melihat pantai yang terhampar begitu indah di hadapannya. Meski sudah sering melihatnya, ia tetap merasa kagum. Angin laut yang menerbangkan anak anak rambutnya, wangi ombak yang khas dan sensasi menyenangkan ketika pasir menyentuh jari jari kakinya membuatnya menyadari betapa tempat ini penuh dengan kenangan masa kecilnya hingga ia telah beranjak dewasa seperti sekarang ini.

"Woahh lautnya indah, cuacanya juga cerah" Tsuyoshi meletakkan embernya di pasir dan mengeluarkan ponselnya dan mulai memotret pemandangan yang ada.

"Pantas saja Airi selalu menyombongkan diri dengan pemandangan laut yang ada disini. Ternyata aslinya benar-benar mengagumkan. Ngomong-ngomong, apa ayahmu melaut dari sini?"

Hening.

"Hitoka?" Tsuyoshi menoleh dan mendapati gadis di sampingnya mematung menatap cakrawala dengan mata yang sendu.

Pemuda itu menggoyang-goyangkan telapak tangannya didepan wajah gadis itu untuk menyadarkannya. "Hah? Apa?"

"Kau bengong lagi. Kalau kesurupan aku bisa repot" tukasnya.

"Enak saja kesurupan. Aku hanya teringat ayahku. Dia pergi melaut selama 3 hari kedepan. Semoga tidak terjadi badai disana"

Tsuyoshi hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Atensinya teralihkan dengan beberapa ibu-ibu yang terlihat sedang mencari sesuatu di salah satu sudut perairan yang dangkal. "Lihat ada ibu-ibu! Ayo kita kesana"

Tangan Tsuyoshi yang bersemangat tanpa sadar menarik tangan Hitoka mendekat pada ibu-ibu itu. Hitoka menatap tangan besar Tsuyoshi yang menggengam tangannya. Ia menggelengkan kepalanya dengan kuat, hampir membayangkan sesuatu yang membuatnya malu.

.

Hitoka meneguk soda jeruknya. Ia menghela nafas panjang sambil membenahi posisi duduknya di atas pasir pantai okinawa yang masih terasa hangat.

Di sampingnya, Tsuyoshi duduk didepan ember yang penuh dengan udang galah, kerang bahkan beberapa ikan kecil yang menjadi alasan mengapa mereka masih ada di pantai ini hingga malam tiba.

Meski lelah, Hitoka tersenyum melihat Tsuyoshi yang begitu bangga dengan hasil tangkapannya dan memamerkannya pada Airi. Perasaan yang sama ketika ia melihat ayahnya yang berbangga karena mendapat banyak tangkapan.

"Bagaimana? Sudah merasa senang?" Tanya gadis itu

Tsuyoshi terkekeh kecil. "Tak kusangka dapat sebanyak ini. Nanti ku bagi dua denganmu ya"

"Tidak usah, kau bawa saja untuk Airi dan orang tuanya. Mereka pasti senang" sahut gadis itu melihat Tsuyoshi yang begitu senang.

Pemuda itu meregangkan tubuhnya dan berbaring di atas pasir. Ia menghela nafas dan menatap langit yang bertabur bintang.

"Beruntung sekali kau bisa melihat pemandangan seindah ini setiap hari. Kalau di tokyo bintang hanya terlihat sedikit, karena polusi cahaya, udaranya juga segar"

Hitoka ikut menegakkan kepalanya menatap langit "Tokyo itu.. seperti apa sih?"

Tsuyoshi terdiam, berpikir sejenak. "Tokyo itu.. ramai dan berisik. Satu-satunya hal yang ku sukai dari Tokyo hanyalah tidak perlu berjalan jauh untuk pergi ke konbini"

"Baru pertama kali aku melihat orang kota yang lebih suka tinggal di desa. Aku malah sangat ingin pergi ke Tokyo, walau hanya sebentar"

"Kau saja yang norak" sindirnya

"Oh!" Tsuyoshi bangkit dan berdiri di hadapan Hitoka "Jika akhirnya keinginanmu untuk pergi ke Tokyo terwujud, setidaknya kau harus berkunjung ke Menara Tokyo. Komentar orang-orang tentang pemandangannya yang indah bukanlah omong kosong, aku yang orang Tokyo saja mengakuinya" ujar pemuda itu dengan wajah berbinar

Hitoka mengangguk. "Aku pasti datang kesana suatu hari nanti."

Untuk sesaat, kedua remaja itu tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. "Oh iya, aku punya sesuatu untukmu"

Hitoka termangu menatap Tsuyoshi yang mencari sesuatu di dalam ember tangkapannya. "Ini"

Gadis itu menerima bungkusan yang diberikan Tsuyoshi. Ia terkesima melihat apa yang ada di dalamnya "Wahh.. ini ikan badut. Kapan kau menangkapnya??"

"Saat kau tidak melihatnya tentu saja. Kau simpan saja ya, aku tidak begitu mahir merawat hewan."

Hitoka sangat gembira, matanya berbinar melihat ikan kecil berwarna oranye itu berenang meliuk-liuk di dalam plastik. "Terima kasih banyak!!" Ia memekik senang tanpa sadar memeluk Tsuyoshi erat

Pemuda itu terkejut hingga sempat terbengong beberapa saat. Hitoka yang tiba-tiba tersadar dengan apa yang ia lakukan, seketika menarik diri menjauhi Tsuyoshi.

Ia memalingkan wajahnya, malu bukan main. Apa apaan yang ia lakukan tadi? Hitoka bodoh, bodoh, bodoh!. Gadis itu terus merutuk dalam hati tanpa berani menatap mata Tsuyoshi.

Sementara yang dipeluk hanya berdehem, meredam rasa canggung dari perlakuan yg ia dapatkan tadi. Tsuyoshi menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal dan memberanikan diri untuk bersuara "Ayo pulang, ini sudah malam"

Hitoka hanya mengangguk dan menundukkan wajahnya sepanjang jalan sampai di rumah. Ia tak bisa berhenti memikirkan insiden tadi. Habislah dia, meski itu hanya sebuah kecelakaan, ia bahkan tak berani menatap mata Tsuyoshi.

Ini mungkin adalah hari paling tidak terduga dalam hidup Hitoka sekaligus yang paling memalukan. Ia tak bisa membayangkan wajah menyebalkan Tsuyoshi yang akan mengejeknya karena memeluknya sembarangan.

Disinilah mereka, berjalan pulang bak orang yang bermusuhan. Jika saja udang dan ikan badut yang mereka bawa bisa bicara, mereka pasti sudah menertawakan Hitoka dan Tsuyoshi.

You've Fallen For Me; ebidan x stardust planetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang