Happy reading <3
Manusia berevolusi. Dari bayi yang tidak mengerti apa-apa, menjadi anak-anak yang polos dan membutuhkan bantuan orang dewasa, lalu remaja yang mencari validasi dari lingkungan sekitarnya, hingga akhirnya menjadi dewasa. Namun, di antara semua fase itu, Gracia menghabiskan hampir separuh hidupnya sendirian. Tak ada yang bisa dimintai tolong saat ia masih anak-anak, dan tak ada yang memberi validasi ketika ia sangat membutuhkannya. Ketika ia memasuki fase dewasa, ia bertemu Shani, dan sejenak, hidupnya terasa lebih berwarna. Namun, fase itu berlalu cepat, dan saat ia dewasa, ia bertemu dengan orang baru, Fiony.
Fiony mengajarkan banyak hal yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan—tentang cinta, dukungan, dan bagaimana rasanya memiliki seseorang yang benar-benar peduli. Namun, saat Fiony memilih untuk menyerah, Gracia merasa kehilangan arah. Seolah seluruh dunia yang telah ia bangun runtuh dalam sekejap.
Fiony benar. Gracia harus menyelesaikan masa lalunya, setidaknya sekarang. Ia tak bisa terus berlari, menghindari keluarganya dan Shani, sementara semua yang terjadi di masa lalu masih membayangi langkahnya. Ia tahu, tidak mungkin untuk melanjutkan hidup tanpa menghadapi kenyataan yang telah menggores jiwanya.
Jadi di sinilah Gracia sekarang, di tempat yang seharusnya ia kunjungi untuk bertemu Shani bulan lalu. Kali ini, ia menguatkan diri, melangkah dengan tegas, berusaha menata harapannya di tengah ketidakpastian. Setiap langkahnya membawa berat yang tak terlukiskan, namun ia tahu, ia harus menghadapi apa pun yang ada di depan. Ekspetasi dan realita sering kali bertabrakan, dan Gracia bersiap-siap untuk menghadapi kenyataan hidupnya—apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
×××××
Gracia's POV
Semua kata-kata yang sudah ku siapkan menguap entah ke mana ketika melihat kedua orang tua Yessica dan Yessica berdiri di hadapanku. Pemandangan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, dan satu hal yang berbeda: Pak Boby Chaesara sudah tidak lagi duduk di kursi roda. Meski di sampingnya masih ada tongkat jalan, aku yakin bahwa dirinya sekarang sudah bisa berjalan.
"Gracia.... Ayah boleh bicara?" Suara ayah penuh harap, dan aku hanya bisa mengangguk, tidak percaya bahwa dirinya memanggil dirinya sendiri ayah.
"Ayah meminta maaf. Seharusnya ayah selalu ada ketika Gracia butuh. Harusnya ayah ada ketika Gracia masih kecil dan mengabulkan segala hal yang Gracia minta. Harusnya ayah memberikan pujian dan memelukmu dengan bangga saat kamu mendapatkan juara, tapi ayah dan mama tidak pernah melakukan itu. Ayah terlalu fokus dengan kembaranmu, Chika." Ketika ayah berhenti bicara, mataku sudah berkaca-kaca, dan aku merasakan getaran emosi yang tak tertahankan.
"Ayah seharusnya tahu bahwa Tuhan memberikan ayah hukuman menjadi tidak bisa berjalan karena ayah menelantarkan titipan-Nya. Tapi ayah malah semakin membenci kamu sehingga kamu pergi." Suaranya bergetar, dan aku bisa melihat penyesalan yang dalam di matanya. "Yang lebih kejam lagi, ayah malah merusak kebahagiaan yang sudah susah payah kamu dapatkan. Ayah tahu ayah jahat. Ayah mana yang mengatakan bahwa anaknya tidak memiliki masa depan? Rasanya ayah juga merasa jijik dengan sebutan ini. Ayah tidak pantas."
Usahaku untuk menahan tangis gagal. Air mata mengalir tanpa bisa ku bendung, dan untuk pertama kalinya, Mama memelukku dengan hangat.
"Gracia, mama juga meminta maaf sama kamu. Gre, mama jahat banget. Seharusnya mama masakin makanan kesukaanmu. Seharusnya mama menemanimu belajar atau mengambilkan raportmu. Semua hanya tentang kembaranmu, mama benar-benar minta maaf."
Aku tidak bisa menjawab. Yessica Tamara dan Pak Boby Chaesara mendekapku, dan baru pertama kalinya hal ini terjadi. Ketika tangisanku reda, aku melepaskan dekapan mereka, kini aku siap untuk berbicara.
