Bila ini kesempatan kamu, remedi yang mungkin tak terulang.
Gracia's POV
Di depanku, berdiri sosok yang selalu terasa istimewa tanpa perlu usaha apa-apa. Fiony Alveria Tantri. Kekasihku, temanku, kakakku, adikku, dan satu-satunya keluarga yang aku punya.
“Sayang, udah lama nunggu ya? Maaf, tadi model yang aku urus ribet banget.” kataku dengan nada sedikit cemas.
Dia tersenyum, aku menatap wajahnya yang tampak lelah tapi tetap menawan. "Gak apa-apa, Cici. Aku bisa nunggu satu tahun buat kamu akhirnya jatuh cinta sama aku, masa sekarang aku gak bisa nunggu setengah jam aja?" Rasanya hati ini penuh setiap kali melihatnya, dan aku bersyukur—sangat bersyukur—bisa mengenalnya.
Kugenggam tangannya, membawanya perlahan ke tempat di mana mobilku terparkir. Waktu benar-benar sudah berlalu. Dulu, untuk sekadar jalan bareng Shani, aku harus pinjam motor tetangga. Sekarang, aku punya mobil sendiri. Bukan perjalanan yang mudah; Tokyo tidak pernah ramah pada siapa pun yang berusaha di kota ini. Tapi setidaknya, aku punya Fiony di sini bersamaku.
"Silakan masuk, tuan putriku." ucapku sambil membukakan pintu untuknya, sedikit membungkukkan badan seperti pelayan kerajaan.
“Duh, gaya kamu, rese banget sih.”
Aku tertawa keras. “Hahaha! Kalau salting mah salting aja, Dek!” Dia menatapku tajam, dan entah kenapa atmosfer tiba-tiba berubah jadi mencekam. Dengan cepat, aku melipir menuju pintu kemudi, pura-pura tak peduli.
Ketika hendak membuka pintu, suara ponselku tiba-tiba berbunyi berkali-kali. Awalnya kupikir itu pesan dari klien yang mendesak, tapi ternyata dugaanku salah besar. Dan begitu kulihat isinya, aku menyesal.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shani Indira texted me and i'm not ready for that.
Gracia POV end.
×××××
Shani's POV
Sudah berkali-kali aku mencoba meyakinkan diri kalau dia bukan Gracia yang selama ini aku cari. Tapi tiap kali aku berhasil, selalu ada sisi lain dalam diriku yang berbisik bahwa dia adalah Gracia. Hasilnya, aku kembali menangis. Hingga akhirnya, dengan berat hati, aku memberanikan diri menghubungi nomor Grace Patricia.
Dua minggu penuh aku mengumpulkan keberanian untuk sampai di titik ini. Aku bahkan memutuskan pulang ke Indonesia, merasa tak sanggup lagi berada di Jepang walau hanya sedetik.
Setelah mengirim pesan, aku berharap Grace Patricia akan segera membalas. Namun, tiga jam berlalu. Hanya tanda seen yang terlihat di layar tanpa satu pun balasan.
"Ci, are you okay?" Suara Chika yang tiba-tiba muncul mengagetkanku, membuyarkan lamunanku.