09; (Masih) Remedi.

1.2K 111 10
                                    

Happy reading<3

Shani tidak pernah menyerah. Meskipun Gracia telah menghilang dan seolah lenyap dari kehidupannya, Shani tetap bertekad mencarinya. Ia rela meninggalkan semua—kariernya sebagai model dan artis, segala pekerjaan yang telah ia bangun dengan susah payah—dan pergi ke Jepang dengan harapan tipis untuk bertemu Gracia.

Sebulan penuh Shani menetap di sana, tanpa ada kepastian apa pun. Hari-harinya diisi dengan penantian, meski hati kecilnya tahu kemungkinan menemukan Gracia sangat kecil. Namun, keajaiban datang di tengah kesabaran dan keteguhannya. Setelah semua waktu yang ia habiskan, akhirnya Gracia setuju untuk menemuinya kembali. Dan Shani  sangat bersyukur.

×××××

Shani's POV

Malam telah tiba, dan aku berdiri di tempat yang Gracia tunjukkan padaku. Kali ini aku datang sendiri, meskipun Chika, keluargaku, bahkan keluarga Gracia merasa keberatan. Tapi aku tidak mau mengambil risiko; aku tak mau dia menghilang lagi.

Danau ini indah, memancarkan ketenangan yang ironisnya malah membuat hatiku semakin bergejolak. Pemandangan ini mengingatkanku pada masa lalu kami, saat kami saling mengucap janji di tepi danau yang jauh dari sekolah. Sekarang, aku hanya menatap punggungnya yang terdiam di depan sana, dan tiba-tiba saja rasa sesak itu memenuhi dadaku. Dia menoleh, menatapku dengan ekspresi datar yang sulit kubaca. Aku menghampirinya, lalu duduk di sampingnya.

"Wanna talk now?" tanyanya pelan. Aku terdiam, merasa aneh. Bukankah seharusnya dia yang berbicara?

"I think you're the one who should talk, Ge." Dia menghela napas, pandangannya lurus ke arah danau.

"Apa yang harus dijelasin, Ci? Chika dan papa kamu sudah jelasin semuanya, kan? Ini keputusan yang aku ambil."

"Menurut kamu aku bahagia dengan pilihan kamu yang sepihak itu?" Nada suaraku terdengar pedih.

Dia memandangku sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu, Ci? Kamu sendiri yang gak pernah mencoba untuk kembali berbahagia."

Kalimatnya itu benar, dan di dalam hatiku, aku tahu aku tak pernah mencoba lagi. Kehadirannya dulu adalah satu-satunya kebahagiaan yang kumiliki, dan setelah dia pergi, aku membiarkan diriku tenggelam dalam kehampaan itu, tanpa berusaha mencari kebahagiaan yang lain.

"Aku rasa kamu juga tahu tentang dia, kan? Namanya Fiony. Fiony Alveria Tantri."

"I know... Aku nggak tahu harus apa, Ge." Kami terdiam, larut dalam pikiran masing-masing, sama-sama berjuang dengan perasaan yang selama ini kami pendam.

"Kenapa dunia ini jahat banget sama kita, ya?" gumamku, nyaris tak terdengar.

"Dunia gak jahat, Cici. Aku yang jahat." Gracia menggeleng, suaranya penuh penyesalan. Tapi dia salah. Aku tahu, dia mengambil keputusan itu bukan karena keinginan semata.

"Terus sekarang kamu maunya gimana, Ci?" tanyanya dengan suara pelan.

"Kalau aku minta kamu kembali, itu pasti sia-sia, kan? Tapi aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Ge."

Dia terdiam, lalu berkata dengan suara yang hampir berbisik, "Kamu masih ingat waktu kita tujuh belas?"

Tentu aku ingat. Hidupku berhenti di saat itu, di masa ketika aku masih bersamanya. Semua terasa utuh saat itu—aku tak pernah menginginkan apa pun selain kebersamaan kami.

Tujuh belas; Greshan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang