PERHATIAN DAN TRAUMA

141 13 1
                                    

"Shen?" Tanya Bian yang membuyarkan lamunan Shena. 

Perempuan itu memilih untuk tetap diam, namun ia menolehkan kepalanya ke arah Bian yang duduk di sampingnya. Shena masih berusaha untuk memahami apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini. 

Ia merasa semua yang terjadi sekarang sangatlah aneh. 

Pertama, Bian yang tiba-tiba menawarkan untuk menjemput dan ternyata beneran datang ke rumahnya. 

Kedua, Bian yang tiba-tiba menjadi perhatian, menanyakan semua yang ia lakukan baik di kampus maupun di rumah. 

Ketiga, Bian yang tidak lagi terlihat dekat dengan banyak perempuan. Ia bahkan pernah menolak untuk makan bersama Gabriella, seorang model yang namanya terkenal dipenjuru kampus. Shena bahkan tau bahwa beberapa hari sebelum kejadian penolakan itu, Bian dengan getol mendekati Gabriella bahkan sampai meninggalkannya sendirian di kantin. Tapi kini, laki-laki itu selalu bersamanya. Tidak pernah terlihat berbicara dengan perempuan lain atau bahkan membicarakan mereka di depan Shena. Seolah kali ini Bian hanya fokus padanya.

Keempat, Bian yang terus-terusan mengatakan bahwa dirinya cantik. Tidak pernah terpikirkan oleh Shena kalau Bian akan memujinya seperti itu. Ia sadar bahwa tipe Bian bukanlah dirinya. Memang ia tidak bisa dikatakan jelek, tapi dirinya bisa dikategorikan sebagai perempuan biasa saja.

Benar, biasa saja. Tidak ada yang menarik dari penampilannya. Caranya berpakaian juga biasa saja, tidak ada istilah mengikuti trend fashion dalam hidup Shena. Ia hanya menggunakan baju yang menurutnya nyaman. Kalau bukan kaos ya kemeja warna polos yang kebanyakan oversize. 

Berbeda sekali dengan perempuan-perempuan yang pernah Bian dekati. Semuanya modis, cantik dan pintar make up. Semua mata pasti akan tertuju pada mereka. Apalagi cara berpakaian yang mungkin sedikit terbuka tapi tetap terlihat bagus.

"Shen? Kamu kenapa? Sakit? Pusing?" Tanya Bian khawatir. Laki-laki itu khawatir karena sedari tadi Shena hanya diam mengikutinya. Lebih tepatnya terpaksa mengikuti karena tangannya terus digandeng oleh Bian. Kali ini mereka tiba-tiba sudah memasuki Mall dan duduk di Foodcourt untuk mencari makan.

"Hm? Enggak, aku gak sakit kok." Jawab Shena sambil memalingkan wajahnya yang mulai memanas.

"Lah kenapa diem aja dari tadi? Ada masalah?" Tanya Bian lagi.

Shena hanya menoleh sebentar lalu menggelengkan kepala sebagai isyarat. Tak mau ambil pusing, Bian langsung menawarinya untuk membelikan makanan, "Mau makan apa jadinya? Nasi goreng pedas lagi? Minumnya apa?" 

"Enggak ah, tadi pagi maaghku kambuh." Jawab Shena sambil menggeleng.

Deg.

Seketika Bian teringat pada sakit yang diderita Shena hingga kehilangan nyawanya. Bian menatap cemas ke arah Shena, lalu mengambil tangan Shena. "Kamu gapapa? Kapan sakitnya? Kok gak cerita sih. Harusnya istirahat aja, sudah minum obat?" 

Shena tertawa pelan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Bian. 

"Kamu kenapa sih? Gapapa, kan cuman maagh biasa." Kata Shena sambil mengelus pelan tangan Bian, mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Kita ga bisa meremehkan sakit sekecil apapun itu, Shen. Maagh itu bahaya loh kalau dibiarin. Kita makan dulu, aku pilihin yang kuah ya. Nanti habis ini kita ke dokter ya." Kata Bian dan tanpa menunggu jawaban Shena, ia meninggalkan meja dan berjalan untuk mencari makanan.

"Haahhh, kamu kenapa sih bi?" Gumam Shena sambil terus menatap bahu Bian yang melangkah menjauh. 

Lagi-lagi, Shena merasa ada yang aneh dengan Bian. Tidak biasanya ia melakukan hal-hal seperti ini. Biasanya pun Bian tidak pernah memperdulikan dirinya. Tidak peduli sakit apa ia hari ini, makan apa dia hari ini atau bahkan kepikiran untuk membawanya ke dokter saja tidak. Melihat Bian seperti ini, Shena merasa bahwa laki-laki itu mulai bersikap overprotektif. Memang Shena tidak tinggal dengan keluarganya, tapi bukan berarti ia harus terus dijaga oleh Bian.

TAK BERSAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang