Bian cemburu.
Raut wajahnya muram dan tidak bersahabat. Memandangi Shena yang sedang bersama laki-laki lain.
Walaupun mereka hanya teman, melihat Shena tertawa lepas sungguh menyakitkan untuknya.
Ingin sekali ia menendang laki-laki itu keluar dari kamar. Menutup pintu dan memeluk Shena untuk dirinya sendiri.
Katakan Bian gila, karena memang iya. Itu Steve, saudara sepupu Shena. Sudah pernah ku ceritakan bukan bahwa keluarga Shena tidak ada yang tahu soal dirinya sakit?
Steve adalah sepupu dan keluarga satu satunya yang tahu. Steve juga yang tahu bagaimana Shena begitu terluka karena laki-laki yang tengah menatap panas kepadanya.
Steve tertawa pelan. Ia sungguh menikmati pemandangan di depannya. Membiarkan Bian yang salah paham karenanya. Bian tidak tahu bahwa Steve adalah sepupu Shena. Ya jelas, karena ia tidak pernah mau tahu soal Shena sebelum ini. Tentu sepupunya, Shena, tidak mau capek capek menjelaskan kepada Bian.
Hal ini dimanfaatkan Steve untuk membuat Bian cemburu. Tentunya berhasil, karena Bian saat ini tengah memegang gelas dengan sangat kuat serta berkali-kali menghela nafas. Biarkan Bian begini, supaya ia tahu apa yang dirasakan Shena kala itu.
"Aku pamit dulu ya. Nanti aku urus semuanya, gampang." Ucap Steve sambil mengelus kepala Shena pelan.
Mata Bian semakin memicing. Mengurus apa? Apa yang tidak ia ketahui? Kalau soal mengurus Shena, harusnya menjadi tanggung jawab dia.
"Oke makasih yaa, nanti kamu kesini lagi kan?" Ucap Shena sambil tertawa kecil.
Hati Bian terasa begitu sakit, melihat Shena yang bermanja pada orang lain. Ia tidak terima tentu saja. Siapa sih laki-laki ini? Apa yang tidak ia ketahui?
Steve berjalan keluar kamar. Laki-laki itu sering datang sejak Shena pingsan. Hal ini membuat Bian kesal, karena seharusnya ia yang bertugas merawat dan menjaga Shena. Sejak Shena pingsan, Bian semakin cemas tidak karuan tapi hal ini terhalang oleh kedatangan Steve. Ia menjadi tidak bisa menanyakan kepada Shena, bagaimana kondisi perempuan itu saat ini.
"Siapa dia?" Tanya Bian to the point.
Shena hanya diam, ia sudah siap merebahkan diri. Terlalu lelah dan tidak penting untuk menanggapi laki-laki satu ini.
"Siapa dia Shena? Pacar kamu?" Kata-kata pacar memberikan kesan tersendiri untuk Bian. Ia seperti tidak ikhlas untuk mengucapkan sebutan itu. Dalam hatinya ia berkali-kali berdoa agar semua itu tidak benar.
"Bukan urusan lo." Jawab singkat Shena.
Bian menghela nafas. Sepertinya tidak mungkin Shena menjawab pertanyaannya. Ia seharusnya membiarkan Shena istirahat dan merawatnya.
Laki-laki itu dengan sigap membaringkan Shena dan memakaikan kaos kaki karena ini adalah kebiasaan Shena saat mau tidur. Ia mengelus pelan kaki Shena dengan penuh kasih sayang. Dengan sabar ia menaikan selimut dan kemudian perlahan memegang kepala Shena.
Terdiam. Shena membiarkannya untuk pertama kali menyentuh badannya secara langsung.
Bian mengelus pelan kemudian mematikan lampu untuk membiarkan Shena tidur. Ia berjalan ke arah sofa sambil melamun, memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk meluluhkan perempuan kesayangannya ini.
Ia tidak pernah begini sebelumnya. Begitu mengejar seseorang. Memang, memang dulu ia sering melakukan banyak hal untuk perempuan lain. Seolah berjuang dan memberikan banyak hal untuk perempuan lain. Tapi sekarang rasanya beda. Rasa sayangnya berbeda. Entah karena ada rasa bersalah. Yang pasti Bian merasa sangat takut kehilangan Shena. Ia takut terlambat mengucapkan bahwa ia mulai mencintai Shena.

KAMU SEDANG MEMBACA
TAK BERSAMBUT
RomanceAku selalu terjatuh dan dia sendiri yang membuatku kembali berdiri lalu mengejarnya. Tak pernah berhenti membuatku berpijar padanya, namun ia sendiri yang tak pernah letih mengatakan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku sudah mulai bisa melihat ujung da...