LUKA-LUKA SHENA

194 16 2
                                        

SHENA'S POV

Dulu aku selalu memikirkan berbagai cara agar Bian menyukaiku. Walau hanya sebentar.

Setiap wanita yang ia kenalkan padaku. Aku memperhatikan semuanya.

Cantik.
Badannya bagus.
Populer.
Mata sipit dengan gummy smilenya.

Keempat kriteria itu tidak ada yang kumiliki. Aku tidak secantik mereka, tapi tidak bisa dikatakan jelek juga.

Semua hal aku lakukan untuk membuatnya terus kembali kepadaku. Aku selalu menuruti kemauannya agar dia sadar, bahwa hanya aku yang selalu ada untuknya. Berusaha untuk menjadi tempatnya beristirahat.

Mendengarkan semua ceritanya, walau perihku rasa saat ia menceritakan kemampuan wanita lain yang tidak bisa kusaingi. Berharap dengan bertahan, ia akan tahu bahwa hanya aku yang memahami caranya berpikir.

Apapun ku lakukan agar bisa menjadi yang ia butuhkan. Walau kadang sampai menyiksa diriku.

Sampai suatu saat, logika mulai menyerang. Berpikir bahwa tidak akan mungkin ia bisa menyukaiku. Semua perhatian yang tidak pernah ia berikan. Bahkan ia tidak pernah menanyai kabarku saat aku bercerita kalau sedang sakit.

Awalnya aku berpikir ia laki-laki yang cuek. Namun ternyata aku salah. Sampai ketika aku melihatnya begitu mengkhawatirkan wanita lain. Hatiku hancur.

Apa bedanya aku dengan wanita itu? Bukannya aku sama-sama perempuan? Mengapa mereka diperlakukan spesial namun aku tidak?

Dengan terang-terangan, Bian mengatakan bahwa pinggangku saja berbeda dengan pinggang wanita wanita itu. Bahkan mengatakan di depan teman-temannya bahwa kita hanya sebatas saling membantu tugas.

Semua kata yang terlontar begitu membuatku sakit. Aku hancur karena harapanku yang tak pernah terwujud. Walau penantian ini belum lama, hanya 2 tahun, namun bisa memberiku banyak luka.

Sampai saat aku didiagnosa mengidap Kanker. Semua hal terasa pahit. Seolah dunia tidak membiarkanku untuk bahagia. Seolah dunia merangkai ceritanya untuk membuatku terus bersedih dan merasa tidak layak.

Mataku terus menatap hancur ke arah Bian yang menggandeng atau sekedar berjalan bersama wanita lain. Tanganku yang berusaha menyalurkan perih dengan menggenggam erat barang apapun.

Luka ini kian lama kian dalam.

Menghela nafaspun rasanya enggan. Seolah tidak seharusnya aku bersedih karena memang aku tidak pantas.

Selalu terduduk lemas begitu banyak pertanyaan yang terpikirkan tentang hubunganku dengan Bian.

Dan sekarang, laki-laki itu dengan lancangnya bersikap seolah tidak ada apa-apa dan mencoba merawatku.

Ia meninggalkan semuanya, saat ku tahu dirinya sudah dinyatakan lulus demi merawatku.

Ia bahkan dengan perlahan dan lembut memperlakukanku. Seolah aku adalah barang yang mudah pecah.

Tatapan khawatir yang tak pernah ku dapat. Meski dulu pernah hujan-hujan memberinya makalah tugas milik Bian yang ketinggalan dengan kaki perih karena kecelakaan. Bian bahkan tak menoleh ke arah kakiku. Ia mengambil buku itu dan melanjutkan jalan dengan seseorang teman wanitanya. Ya, lagi lagi teman wanitanya.

Kini, tatapan khawatir itu setiap hari ku dapatkan. Tatapan rindu, sayang yang begitu dalam dan bahagia seolah semua itu ditujukan kepadaku.

Apakah aku bahagia? Aku tidak tahu. Rasanya begitu perih. Begitu mustahil, sampai-sampai kamu takut semua ini hanya ilusi. Takut jika suatu saat ia akan kembali ke tabiat lamanya.

TAK BERSAMBUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang