Bian tidak peduli, badannya dipenuhi oleh lumpur dan kotor. Saat ini ia lebih memilih untuk menangis dihadapan makam Shena. Mengabaikan semua orang yang menatapnya iba.
Ia bahkan tidak peduli pada Jenny yang terus memintanya untuk berhenti menangis. Sahabat Shena itu takut jika Bian akan terus terpuruk dan melakukan sesuatu yang tidak baik.
Semua mimpi buruk Bian terjadi saat ini. Begitu nyata dihadapannya. Bahkan ia menyangkal bahwa Shena telah pergi. Bian tidak percaya, tapi ia sendiri yang melihat Shena ditutupi kain setelah semua alat dicabut dari badan perempuan itu.
Meski sudah berlarian, semua itu tidak semerta-merta membuat Shena kembali bernafas. Bian dengan ketakutannya menyaksikan bagaimana Shena terbujur kaku.
Bahkan laki-laki itu tidak bisa mengurus dirinya sendiri.
Saat ini Bian tengah mengelus pelan bingkai foto Shena. Ia tidak tahu harus melakukan apa setelah ini. Ia menghabiskan waktu dua bulan untuk menjaga Shena. Waktu yang begitu singkat namun membekas, seolah sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjaga Shena. Entah apa yang akan ia lakukan, semua semangatnya seolah menguap, menghilang bersama Shena.
Apakah aku bisa hidup tanpa Shena?
Apakah aku bisa melalui hari-hariku setelah ini?
Bagaimana aku bisa menjalani aktivitasku tanpa ia yang ada disampingku? Meski kemarin tidak bisa memiliki, namun kehadiran dan melihat Shena tersenyum saja sudah cukup.
Bian bahkan belum sempat mengatakan bahwa ia mencintai perempuan itu. Perempuan yang menjadi satu-satunya dihidup Bian. Perempuan yang membuatnya begitu banyak berubah.
Berkali-kali keluarga Bian menarik badannya seolah memintanya melanjutkan hidup, namun laki-laki itu bergeming. Tidak peduli apapun yang ada disekitarnya, ia hanya ingin menghantar Shena untuk yang terakhir kalinya. Ia ingin menjadi berguna untuk terakhir kalinya. Menjaga Shena dalam kondisi apapun.
Maafkan aku. Kalimat yang bahkan berjuta kali ia sebutkan dalam hati. Seolah meyakinkan diri bahwa satu kalimat ini sudah cukup membuat Shena tidak sakit lagi.
"Mama khawatir jo."
"Khawatir apa ma?" Jonathan kakak Shena yang tengah menaburkan bunga itu menoleh ke arah mamanya.
Mama Shena memperhatikan Bian yang nampak begitu hancur, berlutut dipusara anaknya.
"Takut kalau Bian gak akan bisa kembali seperti dulu. Mama takut dia melakukan hal bodoh untuk..."
"Ma, jangan bicara kayak gitu. Jo yakin, Bian gak punya pikiran kayak gitu."
"Kamu lihat saja jo, itu, matanya. Mata Bian kosong."
***
BIAN'S POV
Untuk apa lagi aku hidup?
Jika semua semangatku telah hilang, menguap bersama dirimu. Air mata yang terus menetes begitu aku mengingat namamu. Kata maaf yang selalu terucap sebagai bentuk meyakinkan diri sendiri.
Hari hari kulalui begitu hampa. Tidak ada lagi alasan untuk aku bertahan di dunia ini.
Aku hanya bisa menatap kosong, merasakan perih yang luar biasa yang bersarang pada dada ini. Kekosongan yang tidak bisa digantikan oleh siapapun dan apapun.
Semua orang terus menatapku iba. Bahkan mama terus berucap agar aku sadar dan kembali menjalani hidup seperti biasa.
Tapi bagaimana aku bisa menjalani hidup seperti biasa? Jika aku tahu masa laluku yang memperlakukan wanita begitu kejam. Wanita yang merasakan sakit baik fisik maupun mentalnya karenaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAK BERSAMBUT
RomanceAku selalu terjatuh dan dia sendiri yang membuatku kembali berdiri lalu mengejarnya. Tak pernah berhenti membuatku berpijar padanya, namun ia sendiri yang tak pernah letih mengatakan bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku sudah mulai bisa melihat ujung da...