Uncle, touch me

3.5K 106 16
                                    

Denting suara alat makan yang diiringi dengan lemparan canda tawa membuat suasana makan malam menjadi begitu hangat. Tatapan lembut seorang ibu yang sedang menyimak anaknya bercerita menjadi pemandangan di meja makan.

Sesekali sang kepala keluarga juga turut andil dalam merecoki, selalu berhasil membuat anak tunggalnya mendengus kesal dengan wajah yang berubah lucu.

Itu adalah hal biasa yang terjadi di keluarga Park. Keluarga berada namun sederhana yang penuh akan kasih sayang. Terlebih kepada satu-satunya putra mereka, Park Jimin.

Pria mungil yang tumbuh dengan siraman cinta dari kedua orang tuanya. Ia tidak pernah merasa kekurangan. Segala kebutuhannya selalu diusahakan oleh kedua orang tuanya. Hal yang secara tidak langsung membuat pria mungil itu menjadi pribadi yang manja.

Tidak ingin jauh dan selalu ingin berada disekitar ayah ibunya.

Namun seiring dengan pertumbuhannya yang kini memasuki usia 20 tahun. Jimin pada akhirnya mencoba untuk tidak merengek lagi jika ditinggal sendiri. Perlahan ia mengerti jika kedua orang tuanya itu adalah orang sibuk yang masih menyempatkan waktu untuk dirinya.

Seperti sekarang. Ia hanya memberikan senyum saat mendengar kedua orang tuanya itu akan berangkat dinas besok pagi. Jimin tidak ingin menangis, tapi ia sangat benci sendiri. Wajah Jimin yang tadinya tersenyum perlahan menekuk ke bawah dengan bibir yang maju tiga senti. Air matanya juga mulai menggenang di pelupuk mata.

Sulit untuk menyembunyikan raut sedihnya itu.

"Kemarilah putra manis ibu, kau terlihat menggemaskan dengan wajah menekukmu itu", ucap sang ibu dengan senyum dan kedua tangan yang merentang lebar. Menyambut tubuh mungil putranya yang langsung masuk ke dalam pelukan.

"Kenapa kalian pergi dadakan sekali", tarikan ingus terdengar dari Jimin yang kini menyembunyikan kepalanya di leher sang ibu. Benar-benar seperti bayi koala yang tidak ingin lepas dari induknya.

"Ini tidak dadakan, Jimin. Ayah sudah memberi tahumu minggu lalu", saut sang kepala keluarga yang langsung menutup rapat bibirnya saat mendapati lirikan tajam dari sang istri.

"Kami tidak akan lama. Hanya dua minggu", sambungnya dan hampir tersedak nasi saat mendengar teriakan cempreng dari sang putra yang kini menatap dengan mata yang membola.

Bibir Jimin semakin menekuk dengan sedikit getaran. Siap untuk menangis jika saja sang ibu tidak memberinya usapan lembut pada pipi dan berkata,

"Kau tidak akan sendirian, Jimin. Pamanmu akan menemanimu selama ibu dan ayah pergi", ucapan itu berhasil membuat dahi Jimin berkerut.

Seingatnya ia tidak memiliki banyak paman yang memiliki waktu luang hanya untuk menemani dirinya selama dua minggu. Mereka semua sudah berkeluarga dan memiliki anak— tidak mungkin kan orang tuanya itu meminta mereka untuk pindah dan tinggal sementara hanya untuk menemani dirinya di rumah?

Sungguh, itu berlebihan dan akan merepotkan kedua belah pihak.

Sibuk dengan pikirannya sendiri. Jimin sampai tidak sadar dengan penjelasan lebar sang ayah yang kini mendengus dan mengangkat kedua tangannya, menyerah.

"Lihat. Anak nakal ini memang tidak pernah mendengar ayah", teguran itu berhasil membuat Jimin mengedipkan mata dengan kepala yang menggeleng kecil.

"Ya? apa ayah mengatakan sesuatu?", balasnya dengan raut wajah bingung. Berhasil membuat yang lebih tua mendengus dan kembali melanjutkan makan.

"Ayahmu tadi membicarakan paman Jeon yang akan menemani mu nanti, Jimin. Kau ingat dia? kalian sering bermain bersama waktu kecil", jelas sang Ibu dengan usapan sayang pada rambut Jimin.

𝗢𝗻𝗲𝘀𝗵𝗼𝗼𝘁 𝗼𝗳 𝗞𝗠 [𝗡𝗖]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang