1. Apa?! Nikah?!

160 9 4
                                    

Ini ... mimpi buruk bagi Uma.

Ia dipanggil menghadap nyonya besar perusahaan tempatnya bekerja sebagai manajer. Meski datang dengan wajah dan sikap tenang, sebenarnya otak Uma merangkai puluhan pertanyaan. Apa ia melakukan kesalahan fatal? Tidak, Uma suka memeriksa hasil kerja bawahannya sebanyak tiga kali, jadi kemungkinan kecil tidak terjadi kesalahan. Lalu, apa yang membuatnya dipanggil nyonya besar? Entahlah, yang jelas Uma berdiri sedekapkan tangan di depan sambil menunggu nyonya besar bicara.

"Kamu yang namanya Rauma Shani?" tanya wanita berumur setengah abad itu tanpa sedikitpun alihkan pandangan dari lembaran kertas.

"Saya sendiri, Nyonya." Tentu Uma jawab dengan wajah tanpa ekspresi. Kacamata yang bertengger di batang hidungnya membuat tatapan Uma jauh lebih mengintimidasi, dalam arti ia ketakutan.

Nyonya besar berhenti mengamati tulisan di secarik kertas dan sekilas menatap Uma. Alih-alih tetap bersikap dingin, nyonya besar justru tersenyum lembut. "Jangan terlalu tegang. Saya hanya tanya kamu beberapa hal."

Ngomong sih gampang, tapi gue nggak bisa santai! Uma memekik dalam hati.

"Berdasarkan hasil wawancara tertulis pada lamaran kerja, kamu bersedia mengabdi pada perusahaan. Apa itu benar?"

Kenapa dia nanya begituan? "Benar, Nyonya."

"Kamu menjawab seperti itu secara sadar dan tanpa ada paksaan?"

"Benar." Uma mengangguk. Mukanya masih tanpa ekspresi, tapi tangan sudah saling bertautan erat.

"Menikahlah dengan anak saya."

Uma nyaris menjawab 'baik' andai kesadarannya hilang. Tadi beliau bilang menikah? Beliau minta Uma menikah dengan anaknya? Sebentar, biar Uma ingat-ingat sebelum nyonya besar bertanya. Anaknya nyonya besar ... seingat Uma, beliau punya 5 anak. Kayaknya perempuan semua deh.

"Ada masalah, Uma?"

Tidak, bukan begitu. Uma hanya mencoba mengingat anggota keluarga nyonya besar. Anak cowok.... Anak cowok.... Ah, Uma lupa. Harri anak ke-4 dari lima bersaudara. Cowok itu menjabat sebagai CEO, menggantikan kakak keduanya. Dan Harri termasuk atasan paling ditakuti karyawan.

"T-tidak ada, Nyonya." Namun, pikiran Uma menerawang pada bayangan pasca menikah. Harri pasti mengabaikannya. Mungkin saja Uma bukan jadi istri, melainkan pembantu atau budak pemuas hasrat. Tentu ini merugikan. Mendadak ia teringat kondisi keluarga. Sang ibu sakit, dua adiknya masih menempuh pendidikan, kakaknya kerja kontrak di perusahaan elektronik yang bisa saja butuh uang untuk perpanjang kontrak.

"Bila tidak ada, sesegera mungkin saya mengurus pernikahan kalian." Beliau berhenti sejenak memandang Uma. "Kau mau bertanya?"

Akhirnya! "Iya. Apakah saya punya hak soal keuangan?"

"Sebagai istri dari anak saya, saya akan menjamin kebutuhan rumah tangga kalian termasuk kebutuhan pribadimu." Itu dia yang Uma inginkan! Tapi, menikah tanpa cinta rasanya.... Entahlah.

"Saya bersedia selama status sebagai suami istri nanti bisa diprivasi, Nyonya." Toh, Uma yang jarang keluar rumah dan berinteraksi seperlunya akan menjadi perawan tua.

"Itu sudah pasti."

****

Uma keluar dari ruangan nyonya besar dengan ekspresi dingin. Raut wajah tersebut ia tunjukkan di sepanjang kakinya melangkah. Orang yang berpapasan dengan Uma seketika menunduk kepalanya. Mereka seperti ketakutan memandang Uma yang kerjanya sebagai manajer. Maksudnya, emang manajer semenyeramkan itu terhadap bawahannya? Uma hanya jalani tugas, tidak sampai menjadikan mereka budak. Sampai di ruangannya pun, rekan kerjanya pada segan untuk bertanya.

CEO Kejam untuk Cewek DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang